30.1.08

Beratnya Mengusung Kisah Satir yang Jenaka

(Teater Syahid)
JAKARTA—Inilah kisah sepasang muda-mudi yang punya profesi negatif di masyarakat. Yang perempuan pelacur, sedangkan yang lelaki pencopet. Orangtua mereka masing-masing menikmati hasil kerja anak-anaknya tanpa tahu mereka mengais rezeki dalam dunia kelam.

Alkisah keduanya jatuh cinta. Namun, orangtua mereka tak merestui. Begitupun, mereka tetap nekat dan malah meninggalkan keluarga mereka, hidup di Jakarta dengan mempertahankan profesi masing-masing.


Tarkemi (Ng’Kiss) tetap menjadi pelacur dan Madekur (Sir Ilham Jambak) sebagai copet, cinta mereka tetap bertahan. Bahkan waktu dan penyakit pun tak bisa memisahkan keduanya dengan kematian. Sepasang suami-istri yang terbuang dari masyarakat ini menemui ajal bersamaan di tumpukan sampah kota setelah menderita banyak penyakit yang tak berkesembuhan.

Naskah Medekur Tarkemi ini merupakan karya mendiang Arifin C. Noor yang berjudul Orkes Madun I. Dipentaskan kembali oleh oleh Teater Syahid UIN Jakarta (13/2). Teater yang pernah menjadi pemenang juara terbaik II di Festival Teater Remaja se-DKI Jakarta 2001 ini selama ini memang solid dengan pemain-pemain internalnya. Menurut Bambang Prihadi, sutradara, untuk latihan karya Arifin C. Noor ini saja, mereka sudah melakukannya sejak pertengahan tahun yang lalu.

Teater ini memang ingin menggarap naskah Arifin C. Noor (Orkes Madun I, Umang-umang, Sandek dan Ozon). Dengan setting ban-ban bekas dan besar yang secara imajiner bisa berfungsi sebagai apa pun, simbol kerasnya kehidupan atau dunia jalanan dapat ditonjolkan. Selama pertunjukan, penonton juga dihibur dengan dialog dan akting kejenakaan yang terasa renyah, apalagi dialog ayah dan ibu Madekur-Tarkemi. Dialog yang sama itu dilakukan selama puluhan menit, sehingga cukup memancing respons para penonton. Segar dan bebas dalam dialog.

Jenaka Plus Satir
Hanya saja, kebebasan dialog ini dalam beberapa bagian malah mengaburkan kisah karena terlalu banyak bermain-main di luar teks cerita. Nasib Madekur dan Terkemi dalam menjalani kehidupan yang berat dan pahit jika digali lebih intens lagi mestinya bisa menjadi kekuatan. Misalnya saja, adegan pertemuan orangtua Madekur dengan anaknya. Mereka mengira Madekur telah menjadi gubernur di Jakarta. Adegan mereka mendatangi kantor gubernur jelas merupakan satir kehidupan. Sayang, nuansa satir tersebut menjadi kurang menggigit tatkala secara tiba-tiba momen tersebut diselingi kisah kocak rombongan orang-orang yang memisahkan keduanya. Mereka berebut memberikan usulan, sehingga seorang di antara mereka mengaku sebagai pemimpin. Setelah rombongan selesai berdebat, cerita pun kembali dilanjutkan. Begitu saja!

Juga tentang dialog dua kekasih yang tiba-tiba diisi dengan percakapan tokoh orang jalanan Waska (Idris Kelana) yang akhirnya mati. Semar ditanyai orang-orang tentang kematian Waska. Namun, Semar enggan bicara. Setelah itu, kisah kembali dilanjutkan dengan dialog kekasih di malam yang sepi. Perasaan kocak atau trenyuh jadi bolak-balik menguasai panggung tanpa sempat rasa itu tertuntaskan.
”Pada awalnya saya memang terasa begitu. Teman-teman memang muda dan baru dalam berakting. Mungkin kalau kita mengacu tepat pada karya Arifin yang cair dan mati secara cepat itu, rasanya sangat berat,” ujar Bambang.

Naskah-naskah teater Arifin C. Noor memang terkadang sangat simbolik dan punya nuansa surealisme. Alur bolak-balik (back-tracking) menuntut berbagai strategi agar setiap kisah dan setiap kehadiran juga akting aktor punya alasan di dalam kisahnya. Dengan begini, narasi dari naskah yang pernah digarap Arifin memang punya tantangan yang sangat besar di panggung, termasuk metoda alur kisah, juga kemampuan tokoh-tokoh mengisahkan naskahnya sehingga terkesan tidak rumit.

Secara improvisasi panggung dan tawaran dialog juga kejenakaan, pagelaran yang dilakukan oleh Teater Syahid ini sangat menarik. Rombongan aktor yang menjadi pengikut Waska juga reaktif dan spontan. Hanya penguasaan pada panggung yang luas – mengisi ruang-ruang yang kosong kadang terlihat canggung. Untuk hal ini, Bambang mengakui Teater Syahid sendiri baru dua kali berpentas di Taman Ismail Marzuki.
Hanya, sajian yang diluncurkan di panggung jadi terasa berat juga panjang. Keinginan untuk menampilkan komedi (sepertinya ingin membuat sajian ini enak ditonton) yang jika tak digarap hati-hati, justru merusak sensitivitas satir yang dibawakan.
Karakter Waska mewakili pribadi yang rumit secara psikologis. Memang, pemeran Waska juga cukup mampu baik dalam vokal, bloking panggung atau ekspresi. Hanya saja, strategi penceritaan untuk adegan ini terasa kurang didukung oleh lighting atau setting sehingga imajinasi penonton kurang terbantu. Hal ini diakui sutradaranya sebagai kendala teknis yang sebenarnya harus lebih tergarap secara maksimal.
Adegan yang sangat menarik justru adalah pada perdebatan orangtua dan anak. Di dialog ini, orangtua Tarkeni dan Madekur sedang menasihati masing-masing anaknya. Lucunya, dialog masing-masing orangtua diletakkan berjejer di panggung dengan nasihat dan kata-kata yang sama – sesuai dengan tuntutan naskah Arifin. Di sini terlihat kemampuan Bapak Madekur (Abd. Hafidz) dan Bapak Tarkeni (Ical) dalam menghafal dan menghayati naskah, cukup baik. Dialog dan geraknya juga terasa kuat.

Kebebasan dan improvisasi pada teater ini memang menarik. Pada awal dan akhir pertunjukan yang diisi dengan musik saja, penonton sudah mendapatkan eksplorasi bebas dari teater ini pada naskah Arifin C. Noor. Hanya di tengah improvisasi, memang diperlukan kekuatan akting dan perpindahan suasana yang cepat diadaptasi para aktor agar suasana jadi tidak terasa terhambat. Namun, bagaimanapun Teater yang sudah menggarap pementasan ketiga dari empat naskah (caturlogi) Arifin C. Noor ini patut diacungi jempol terutama dalam intensitasnya menggali naskah dari mendiang yang dikenal sesepuh dalam dunia teater.

(SH/sihar ramses simatupang)

Tidak ada komentar: