23.1.08

LUDRUK

Cakrawala Seni

Ludruk

Kata ini tentu sudah taka sing lagi bagi kita. Dulu, teater rakyat jawa timur ini begitu popular hingga digemari oleh semua kalangan. Teater yang peran wanita kebanyakan dimainkan oleh pria ini amat lekat dengan masyarakat kalangan bawah karena bisa menjadi media komunikasi timbale balik yang mengandung humor kritis yang keluar secara spontan.

Awal keberadaan ludruk ini belum diketahui secara pasti, tapi pada tahun 1890, masyarakat daerah Jombang sudah mengenal kesenian ini. Ludruk yang semula hanya lawakan atau banyolan di atas pentas berkembang menjdai bentuk teater tradisional karena memasukkan unsure cerita.

Kata ludruk itu sendiri masih simpang siur. Ada yang mengartikan ludruk sama dengan 'lerok’yaitu bayi yang di make up tebal sehingga tampak lucu. Tapi, menurut Tuti, seniman ludruk sejak jaman Jepang, Ludruk berasal dari kata ‘elu-elu, gedrak-gedruk’ yaitu suatu gerak tari remo yang dibawakan pada awal pementasan yang menjadi cirri khas tersendiri dalam ludruk selain iringan gending jula-juli suroboyoan.


Ludruk merupakan salah satu kesenian rakyat yang unik. Para aktornya bisa begitu genit. ‘kenes’ dan kemayu seperti layaknya perempuan.

Ludruk pada jaman penjajahan

Adalah cak Gondo Durasim yang menimbulkan amarah para penjajah Jepang karena kidung-kidungnya yang tajam.Tokoh ludruk ini ikut berjuang melawan penjajah seperti yang dilakukan Bung Tomo di Surabaya. Bedanya, Cak Durasim mengorbarkan semangat api perjuangan lewat Ludruk, sedangkan Bung Tomo langsung memimpin di garis depan dengan pidatonya yang mengobarkan api semangat perjuangan arek-arek suroboyo.
Salah satu kidungnya yang membuat cak Durasim diseret dan dipaksa oleh sedadu Jepang yaitu : ‘Pegupon omahe Doro, melu Nipon tambah soro’ (pegupon rumah burung dara, ikut Nipon malah sengsara). Betapa kesenian Ludruk ini ikut berjuang demi kemerdekaan.

Ludruk di jaman modern. Pada masa pembangunan ini ludruk tidak lagi bicara dengan bahasa nurani rakyat yang tertindas, tetapi ikut menyampaikan pesan-pesan pemerintah secara sukarela. Tidak menutup kemungkinan ludruk juga dipakai untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah.

Dewasa ini, ludruk juga mengalami nasib yang sama dengan kesenian tradisional lainnya. Di Jawa Timur sendiri, ludruk ini makin terdesak oleh kesenian impor, akibatnya, volume pertunjukannya pun berkurang. Beberapa seniman ludruk yang masih aktif itu dikarenakan panggilan hati untuk mempertahankan kah hidup keseniannya.

Yang jelas, saat ini ludrukkurang diminati oleh penduduk kota. Namun, jika seniman ludruk mau berbenah diri dalam berkesenian, tidak mustahil ludruk bisa menjadi teater kota seperti halnya yang sudah dirintis oleh sandiwara Srimulat.

Selain itu, factor bahasa juga harus diperhatikan oleh seniman ludruk karena tidak semua orang bisa memahami bahasa Jawa, sehingga pemakaian bahasa Indonesia akan lebih mendukung sehingga ludruk bisa dinikmati oleh seluruh warga Indonesia ditambah dengan unsure cerita yang menarik, bukan hanya cerita kuno yang sudah diketahui oleh banyak orang.Penampilan ludruk yang inovatif, tidak monoton dan tidak membosankan pasti akan memberi nuansa baru bagi kesenian milik kita ini. Dengan pendekatan dan pembaharuan semacam ini, semoga ludruk bisa mendapat tempat di hati masyarakat tanpa terkecuali. Sehingga keberadaannya akan tetap lestari.

Amin…

(Aan)

Tidak ada komentar: