21.1.08

TEATER NDG ARADEA: REAKSI KOLEKTIF TUBUH

(Diposting dari : Rumah Dunia)

Sebenarnya secara pribadi saya sudah capai dengan tulisan-tulisan kebudayaan di media masa. Kebudayaan sering tampil dalam representasi reduktif: kalau bukan soal sastra, pastilah soal teater, atau seni rupa. Di luar itu dunia kita dipenuhi oleh beragam kemurungan kondisi sosial politik dan ekonomi kita. Saya yakin tidak hanya saya yang kecapaian. Tapi mau bagaimana lagi, kesenian memang ternyata selalu menjadi salah satu simbol representatif dari kebudayaan. Kesenian bisa menjadi akibat kebudayaan, bisa pula menjadi kontrol kebudayaan sehingga akhirnya menjadi sebab terciptanya kondisi kebudayaan yang lebih baik.


Memang dampak kebudayaan dari kesenian itu tidak akan terasa serta-merta. Mungkin sama lamanya dengan proses kebudayaan itu sendiri. Maka tidaklah aneh apabila dalam kesenian pun ada kecenderungan dan aliran yang bertahan lama dan dirayakan secara kolektif. Hanya ada sedikit seniman yang bisa berusaha lepas dari kecenderungan-gaya-kolektif, salah satunya sutradara Ndg Aradea.

Dulu namanya dikenal Nandang Aradea. Kuliah di IKIP Bandung(kini UPI). Menjadi ketua teater kampus IKIP Bandung. Belajar akting di Studiklub Teater Bandung pula. Lalu mengikuti beberapa workshop dan festival di Australia, dan kota-kota di Indonesia. Tahun 2000 ia mengajar di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten. Tahun 2002-2006 ia pun bekerja di Rusia.

Sejak di Bandung Aradea getol menekuni keaktoran, sampai-sampai skripsinya pun bicara keaktoran. Bermacam aktor terkenal di Indonesia diwawancarainya ikhwal proses kreatif. Di Banten ia pun mendirikan kelompok teater kampus (Kafe Ide Untirta), lalu teater profesional (Teater studio Indonesia). “Di Rusia saya juga belajar teater,” katanya. “Juga pentas, happening artlah!” Saya mengenalnya sejak tahun 1996. Tapi saya pernah berkali-kali menonton garapannya: Indonesia Setengah Tiang, Teknologi Penjara, Perahu, dan kini Bicaralah Tanah: Kisah Pemberontakan Petani Banten.
Masih ada beberapa garapan dia yang lain, tapi saya hanya melihat dari foto-foto dokumentasinya. Dan teater Aradea termasuk teater yang tidak bisa saya sebut membuat capai, karena amat berbeda.

Bicaralah Tanah

Bicaralah Tanah (produksi 2007) adalah jenis teater yang menawarkan kebaruan. Panggung teater modern kita selama ini ditata oleh karena euforia melek sastra. Selain itu empu-empu teater modern kita memperkenalkan realisme di bermacam kota yang lalu dibawa oleh para penerusnya ke pelosok-pelosok. Sastra dan realisme memang dapat dengan mudah menemukan titik temunya: jauh lebih banyak naskah drama bercorak realisme daripada corak absurdisme dan lain sebagainya, terutama dalam bentuk ––bukan dalam tema. Drama-drama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia juga drama-drama yang realis, atau kalau kita yang membuatnya, buatan kita cenderung realis.

Realisme itu bukan harus ditolak. Karena realisme itu impian. Hidup kita sering kali tidak realistis. Politik tidak realistis. Ekonomi sering pula tidak realistis. Maka realisme adalah sejenis impian yang memberi tempat pada usaha manusia dalam merapikan realitas. Apabila dalam kehidupan nyata seorang penjahat tak dapat dihukum karena kelicikan dan kelicinannya, dalam panggung realis ia bisa ditumpas. Realisme adalah usaha manusia menaklukan realitas yang tidak realistis. Maka dari itu ajaran-ajaran teater realisme selalu bermula dari logika (baca saja buku Stanislavski, empu teater dari Rusia itu).

Tapi Aradea lain. Meskipun ia besar di Bandung yang hingga kita masih berbetah dalam tradisi realisme di atas panggung teater, Aradea memilih berteater dengan caranya sendiri. Bicaralah Tanah sebagaimana juga pentas-pentas Aradea yang lain adalah teater yang bersemangat-kolektif.
Manusia-manusia di atasnya tidak lagi dipilah-pilah dalam kategori antagonis dan protagonis. Manusia itu tampil kolektif. Dalam pentas Perahu para nelayan itu bekerja bersama, oleng bersama, mabuk bersama, mati bersama. Dalam pentas Bicaralah Tanah juga begitu. Para petani itu ambruk bersama, mencangkul bersama, menanam bersama, dijajah bersama, kena letusan gunung Krakatau bersama juga, mati pun bersama-sama.

Dengan satu hal itu saya dapat melihat bahwa teater Aradea dalah teater yang ingin menunjukan peristiwa kolektif rakyat. Dulu ia menggarap teater dengan judul Reportase Ladang-ladang, Bandung, 1995. Saya kira teater Bicaralah Tanah ini dapat disebut “kelanjutannya”. Dulu soalnya ladang, kini soalnya tak hanya ladang, karena tanah itu didiami pula oleh sawah, rumah, kepentingan, kelicikan, politik, agama, kiyai, penjajah, juga sejarah, juga darah.

Ciri kolektivitas itu juga tampak pada artistiknya. Dalam pentas Perahu, perahu itu digantung di atas konstruksi ratusan bambu yang terkoneksi ke tempat duduk penonton. Tidak ada satu pun bambu yang terpisah dari bambu lainnya. Jadi setiap goyanangan perahu, penonton ikut dibuat-goyang. Dalam pentas Bicaralah Tanah penonton mendapat teror tanah: tanah-tanah itu sengaja dibuat untuk muncrat-muncrat ke arah penonton, sehingga para sarjana pertanian yang tidak pernah turun ke sawah pun dapat mencium bau tanah! Para aktivis LSM pertanian, para wartawan, juga diberi materi tanah.

Tapi satu hal saja kekurangannya. Aktor-aktor TSI masihlah aktor-aktor kemarin malam sehingga kadang penonton dibuat tidak percaya dengan kemampuan mereka dalam memegang alat-alat pentas seperti parang dan cangkul. Tapi syukur saya panjatkan kepada Tuhan, selama ini teater garapan Aradea yang agak menantang maut itu, tak pernah memakan korban. “Tenang,” kata Sutradara beranak satu ini, “ini hanya akting, bukan aksi bunuh diri! Lha wong aktor-aktornya juga terbiasa bermain debus!”

Kolektivitas dalam pentas Aradea bagi saya menandai satu hal yang cukup penting. Ternyata gejala-gejala sosial politik ekonomi dan gelaja lain dapat dirasakan akibatnya secara kolektif melalui jalan tubuh. Ketika politik plintat-plintut, tubuh rakyat kena bau kentutnya. Ketika ekonomi morat-marit, tubuh rakyat langsung menjerit. Tubuh, secara kolektif, akan bereaksi kepada pengaruh di luarnya.

Bicaralah Tanah akan dipentaskan lagi di beberapa kota. Bandung (CCF Bandung, 3 Agustus 2007, pkl 19.30), Jakarta (Pusat Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Rusia, 20 Agustus 2007, pkl 19.30). Kemarin (11-13 Juli 2007), pentas perdananya di Banten, dimeriahkan pula oleh diskusi dan pameran foto. Terlibatnya banyak pendukung garapan ini tak lepas dari peran serta Yayasan Konsorsium Pembaharu Banten (KPB) yang turun tangan dan mengerjakan manajeman TSI dengan gesit.

Semoga Bicaralah Tanah menandai lahirnya teater dengan semangat yang agak berbeda: teater yang berwawasan lokal dalam semangat global. Aradea mengaku belajar banyak pada pikiran-pikiran Mayerhold (Rusia), tapi ia tidak seperti Mayerhold. Ia hanyalah orang udik, dan mencintai udik, pesisir dan pegunungan adalah urusannya sehari-hari. Agus Faisal Karim, produser Bicaralah Tanah yang juga kiyai itu berkata: teater ini doa untuk kita semua. Semoga kita selamat di hari-hari yang akan datang, juga di akhirat nanti.***

Arip Senjaya, dosen FKIP Untirta, juru bicara TSI.
*) Foto depan dna dalam dari pertunjukan “Bicaralah Pada Tanah” karya Ndg Aradea (foto Iwan Nitnet)

Tidak ada komentar: