(Angkatan ’66)
Pada hari ulangtahunku, kukitari kota kelahiranku
Setelah sebelas tahun tak menatap wajahmu
Pohon-pohon akasia pada tujuh bukit yang biru
Sekolah lama, gang-gang di pasar, batang-bantang kenari
Di jauhan jam kota menjulang tinggi
Kotaku yang nanar sehabis perang
Wajah muram dan tubuh luka garang
Detak tapal kuda satu-satu
Wahai, pndanglah mukaku!
Bioskop tua. Dindingnyapun retak-retak
Tempatku dulu takjub mengimpikan dunia luar
Jalan kecil sepanjang rel kereta api. Raung.
Beruang-es di kebun binatang
Pedati kerbau merambati kota pegunungan
Memutar roda kehidupan yang sarat
Di depan rumahsakit aku berhenti sebentar
Memandang dari luar dindingnya yang putih
Rahim ibuku, di suatu kamarnya, melepas daku
Ke dunia luar. Dan jam kota
Berdentang pagi hari
Gang-gang di pasar yang bersih, ibu-ibu pedagang berselandang
Bernaung ratusan payung-payung peneduh. Tukang kerupuk
Tukang ikan, penjual pecah belah
Anak-anak yang berkejaran di stasiun bus
Wahai, mengapa kalian menundukkan muka?
Kotaku yang nanar sehabis perang
Wajah muram dan tubuh luka garang
Detak tapal kuda satu-satu
Wahai, pandanglah mukaku!
Sastra, Th. IV, No. 1, 1964
30.1.08
JAM KOTA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar