Setelah hampir tiga puluh menit aku berada di dalam kapel dan melakukan percakapan batin dengan Tuhan, aku menjadi lega. Aku merasa mendapat ketentraman jiwa saat keluar dari sana. Segera aku berjalan menuju kamarku melewati koridor yang di sisi kanan kirinya terdapt pintu-pintu yang semuanya tertutup.
“Ko!” Terdengar seseorang memanggilku dari belakang. Aku menoleh dan kulihat Anton menuju kearahku. “Surat dari penggemar setiamu” Katanya sambil mengulurkan sepucuk surat padaku.
Aku tersenyum sambil menerima surat itu. Amplopnya berwarna putih bersih dengan wangi yang khas, dan tanpa membaca nama pengirimnya, aku sudah bisa menebak tulisan siapa yang akan kubaca didalamnya. “Terimakasih.” kataku.
“Sama-sama.”jawab Anton. “Aku ke tempat David dulu untuk mengkonsultasikan paper kami kepada Frater Juan.”lanjutnya lalu berbalik arah setelah melambaikan tangan padaku.
Kupercepat langkahku menuju kamar tanpa memperhatikan apapun yang ada di sekelilingku karena aku ingin segera membaca surat itu, surat yang dikirim Nola untuk yang ke sekian kali.
Saat aku sampai di depan kamarku, segera aku meraih kunci yang ada di salah satu saku celanaku lalu memasukkannya ke dalam lubang kunci. Klik. Kutarik handel pintu lalu aku menyelakan lampu saat aku masuk sekaligus menyobek amplop itu dan membaca isinyna tanpa mengganti pakaianku. “saat kerinduanku pada tawamu memuncak…” itulah kata pertama yang aku baca di atas kertas itu. Kata yang membuatku teringat pada sosok dan tingkah yang pernah membuatku terpana.
Bait-bait berikutnya dalam surat itu menanyakan keadaanku di sini, di Seminari menengah ini. Menanyakan studi dan perkembangan yang aku peroleh selama setahun aku di tempat ini. Kalau saja saat ini aku bisa menjawab langsung padanya, aku akan katakana bahwa aku baik-baik saja meskipun pernah satu ketika aku merasakan keraguan akan jalan yang aku pilih. Dan akan kukatakan pula bahwa selama setahun ini aku mengalami pergulatan batin yang sangat menyiksaku. Satu pergulatan antara hati yang merindukan dunia luar dengan hati yang ingin mengabdikan diri kepada Tuhan. Aku juga ingin katakana kalau selama ini dia telah membantuku melepas sedikit demi sedikit beban di dadaku. Tapi, aku hanya bisa tersenyum sambil mengingat basihat-nasihat yang selalu meluncur dari bibirnya.
Kami sudah bersahabat sejak tiga tahun lalu, dan dalam perjalanan selama itu, dia sudah banyak memberi warna dalam hidupku. Kami berkenalan di dalam suatu kelompok ilmiah remaja yang ada di sekolah kami. Waktu itu dia masih berstatus sebagai anggota baru, sedangkan aku ketua umumnya. Pada awalanya dia sangat pendiam, jadi aku tidak terlalu dekat dengannya, tapi pada saat ia mulai bicara, aku merasakan sesuatu yang memancar dari dirinya. Ia cerdas. Aku bisa menilai itu dari cara bicaranya yang berhasil menarik semua mata padanya, termasuk aku. Kata-kta yang diucapkannya menunjukkan intelegensi dan kepribadian yang kuat. Dan diakui atau tidak, aku terpesona.
Entah bagaimana awal kedeketan kami, aku sudah lupa. Yang aku ingat, kami sering bersama dalam satu expedisi dan pembuatan naskah karya ilmiah, kami sering menghabiskan waktu di perpustakaan dan bicara dari hati ke hati tentang masalah kami. Mungkin juga kedekatan itu diakibatkan banyaknya kesamaan antara kami. Kami sama-sama berzodiak virgo, sama-sama menyukai mawar kuning dan mungkin juga sama-sama meletakkan simpati.
Kemudian, dalam surat itu dia juga menceritakan tentang kuliahnya, tentang teman-temannya dan tentang seseorang yang menarik simpatinya di sana. Terus terang aku merasa cemburu saat ia menceritakan segala hal yang berhubungan dengan lelaki itu, lelaki yang dikenalny di kelompok teaternya. Tapi aku sadar, aku tak berhak mengaturnya dan lagi pula aku sudah memutuskan untuk menjalani hidupku sebagai seorang frater.
Dua tahun lalu, aku merasa sangat berdosa padanya. Ceritanya begini : Suatu hari, secara tak sengaja aku menemukan sesuatu di dalam buku biologinya. Secarik kertas yang berisi curahan hatinya tentang aku. Tanpa memberikan alas an maupun penjelasan, aku menjauh darinya. Yah … mungkin dia sangat ceroboh waktu itu.
Suatu hari dengan susah payah dia berusaha bicara padaku. Aku ingat waktu dia berlari mengejarku yang akan pergi ke DEPDIKNAS untuk mengurus perijinan untuj suatu kegiatan.
“Kooo!” teriaknya sambil melambaikan tangan memanggilku. Aku hanya menoleh sekilas sambil membalas lambaiannya.
“Aku ke DEPDIKNAS dulu !” kataku lalu aku menstater motorku, meninggalkannya berdiri mematung di depan tempat parker. Dari kaca spion kulihat ia tetap berdiri di sana untuk beberasa saat sampai akhirnya kudengar ia berteriak “Hati-hati!”.
Kupikir, waktu itu, apa yang aku lakukan benar. Aku sama sekali tidak memperhatikan perasaannya yang pasti tercabik-cabik karena sikapku. Setiap kali dia mencoba bicara aku menghindarinya dengan berbagai alas an yang sudah kurancang. Tapi, pada suatu pagi, dia melakukan sesuatu yang mengejutkan aku.
Seperti biasa, aku selalu ke ruang sekreteriat KIR dulu sebelum masuk kelas. Saat aku membuka pintu, aku sangat terkejut melihat ruangan yang di penuhi bucket mawar kuning. Aku hanya bisa diam mematung di depan pintu ruangan yang tidak begitu besar itu sambil menikmati aroma wangi yang menyebar ke seluruh penjuru ruangan.
“Nola …” gumamku. Aku segera melangkahkan kaki memasuki ruangan saat aku tersadar dari sihir sesaat itu, menuju meja dan aku temukan secarik kertas wangi khas milik Nola. Kubaca tulisan di atasnya. Singkat saja. Dia hanya menulis : ‘Maafkan aku kalau aku bersalah padamum. Sahabatmu, Nola’.
Seketika itu aku menangis. Perasaanku benar-benar tersentuh pada ketulusannya. Saat itu aku sadar bahwa ia tidak bersalah karena perasaan cinta itu tidak bisa ditebak akan jatuh kepada siapa dan dari siapa. Cinta terlalu agung untuk begitu saja dipaparkan. Aku baru sadar bahwa aku yang sebenarnya bersalah padanya. Kenapa aku tidak memberi penjelasan tentang cita-citaku untuk menjadi seorang pastor yang sudah pasti membatasi hubungan kami.
Aku segera keluar dari ruangan itu untuk menemui Nola dan meminta maafnya. Aku berlari melewati koridor menuju kelasnya, tapi ruangan itu masih kosong. Kucari dia di perpustakaan, di kantin, di lading hodroponik, di kolam belakang yang digunakan untuk perkembangbiakan katak hijau dank e seluruh penjuru sekolah. Tapi nihil! Aku tak menemukannya.
Sekitar pukul 6.15, aku bertemu dengan Sarah, teman sebangkunya, dan tanpa basa-basi aku langsung menanyakan Nola padanya. “Ko … hari ini dia pergi ke British Council Surabaya untuk mengikuti final lomba pidato Bahasa Inggris sebagai wakil kota kita.”jawab Sarah menjelaskan.
Ya Tuhan! Aku sama sekali tidak tahu mengenai hal itu. Mungkin karena ku terlalu cuek padanya sampai-sampai aku …
“Tadi pagi dia kesini lalu langsung ke balai kota untuk final itu sama Pak Marsudi”.
“Jadi … “
“Ya. Dia meletakkan mawar itu lalu pergi. Kenapa sih kamu tega kayak gitu … dia sedih banget, Ko … “ kata Sarah lalu meninggalkanku begitu saja.
Tanpa piker panjang aku segera meluncur menuju balai kota. Seperti biasa, jalan-jalan di kota Surabaya selalu ramai pada jam-jam segitu dan itu membuatku jengkel. Ketika aku sampai dib alai kota, ternyata para finalis sudah berangkatke Britis Council Surabaya. Aku segera menyusul ke sana. Lagi-lagi aku terjebak arus lalu lintas. Ya Tuhan, kenapa justru saat-saat seperti ini aku mengalami masa-masa sulit!
Sesampai disana, lagi-lagi aku kecewa. Ternyata aku tidak bisa masuk untuk melihat lomba itu. Menurut petugas di bagian informasi, satu jam lagi lomba berakhir dan para peserta bisa beristirahat untuk menunggu keputusan juri.
Akhirnya aku menunggu di sana, mondar-mandir tidak karuan sampai kulihat pintu aula tempat lomba itu terbuka. Dengan cermat aku mencari Nola dengan pandanganku. Awalnya aku melihat Pak Marsudi, tapi aku tak mengacuhkan beliau dan beliaupun tak melihatku. Aku terus mencari Nola sampai pada akhirnya kulihat dia keluar dan tak sengaja melihatku dari tempatnya berdiri.
Dia tak bergerak memandangku dan akupun seperti terhipnotis. Kulihat wajah eksotiknya itu lama sekali dan baru aku sadar kalau aku kangen padanya. Saat aku sadar, aku berlari ke arahnya. Dia sama sekali tak bereaksi sampai saat aku berada di depannya.
“Ko…”
Aku mengangguk. Kuraih tangannya lalu kigenggam erat-erat. “Terimakasih mawarnya…”
Kulihat dia menunduk sambil menggumam “Maafin aku … “
“Kamu tidak salah apa-apa La. Justru aku yang harus minta maaf karena sikapku selama ini.”kataku.”Kamu mau maafin aku kan?”
Dia diam saja.
“Kalau kamu maafin aku, lihat aku dan tersenyumlah.”kataku sambil mempererat genggemanku. Sesaat aku menunggu, lalu perlahan-lahan diangkatnya wajahnya dan tersenyum padaku sementara mata dan pipinya sudah basah. Aku sangat lega lalu kubalas senymnya. “Terima kasih”.
“Kita tetap bersahabat, kan?”
Aku mengangguk. “Dan karena kau sahabku, aku mau bilang… aku putuskan untuk tidak melanjutkan kuliah, tapi aku masuk Seminari dan belajar di sana untuk menjadi domba Tuhan.”
Dengan jelas aku bisa melihat bahwa dia terkejut mendengar kabar itu. Mungkin dia juga kecewa dan sedih, tetapi aku sudah memutuskan hal itu dan sedapat mungkin aku harus mewujudkannya.
“Kamu mau mendukungku, kan?”
Dia menunduk dan melepaskan tangannya dari tanganku. Kubiarkan dia seperti itu untuk beberapa saat, kemudian dia mengangkat lagi wajahnya dan tersenyum padaku.
“Kalau itu keputusanmu…” katanya sambil mengulurkan tangan menyalami aku. “Selamat. Aku tunggu pentahbisanmu.” Sambungnya sambil tertawa lebar.
“Terima kasih, La.”
“Pak!” pekik Nola saat Pak Marsudi ada di dekat kami lalu dia berbisik padaku “Hari ini kamu bolos sekolah?”
Aku Cuma nyengir sementara Pak Marsudi mulai ngomel-ngomel padaku.
“Ko!” suara Anton mengejutkanku. “Ngapain senyum-senyum?”
“Eh. Ah nggak, cumin Nola lagi cerita lucu aja!” jawabku.
“Cepet siap-siap, bentar lagi kebaktian!”
“Oke!” jawabku lalu meneruskan membaca surat itu
‘Ko, kemarin akumembaca sebbuah novel karangan Maria A Sardjono, judulnya: Biarkan Sungai Tetap Mengalir. Ceritanya mengenai seorang gadis yang mencintai seorang frater. Namanya frater Adri. Frater Adri juga mencintainya, tapi dia masih berpegang teguh pada pendiriannya. Setelah frater Adri pindah ke Seminari Jogja, kontan mereka kehilangan komunikasi. Dan pada selang waktu yang lama, mereka bertemu lagi, tapi dalam keadaan yang berbeda. Frater Adri sudah melepas jubahnya dan menikah dengan kakanya. Pada awalnya dia sangat terpukul, tapi seiring berjalannya waktu, ia bisa melupakannya dan jatuh cinta lagi dengan seorang frater, namanya frater WIbi. Frater Wibi juga mareasakan hal yang sama, tapi ia tetap memegang niatnya untuk menjadi hamba Tuhan dan akhirnya Natalia (nama gadis itu) menikah dengan Toni, laki-laki yang begitu tulus mencintainya. Aku harap kamu bisa seperti frater Wibi, dan aku akan menunggu pentahbisanmu. Jaga diri baik-baik. Doaku selalu untukmu. Salam. Nola.
Sejenak kubiarkan kertas itu tetap terbuka di tanganku. Kurenungkan segalanya dan tanpa kusadari aku menangis. Tangis bahagia karena Tuhan mengirimkan Nola untukku …
(Jammie)
29.1.08
Bingkisan dari Tuhan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar