2.2.08

Opera Malam

(Cerita Pendek : Soni Farid Maulana)
GULUNGAN awan hitam yang disapu angin kencang di langit jauh; seakan-akan menjelma seekor binatang buas yang demikian besar, yang siap menelan bulan dan bahkan bintang-bintang, yang malam itu bercahaya dengan amat terangnya. Gulungan awan hitam yang bergerak dengan amat cepatnya itu, memang tengah melancarkan aksinya. Mula-mula menyantap sebagian cahaya bulan dan bintang-bintang, sehingga suasana malam yang semula terasa indah itu tampak muram, seperti wajah seorang perempuan yang dikhianati kekasihnya. Sesekali dari arah yang jauh terdengar pula lolong anjing kampung, menyapu pendengaran sepasang lelaki dan perempuan yang duduk berhadapan di halaman sebuah kafe di bilangan Lereng Cemara.

"Berkali-kali sudah saya katakan, bahwa saya tidak mungkin jadi istrimu. Keluargamu pasti tidak akan menerima saya; kalau mereka tahu; saya dilahirkan dari keluarga macam apa. Jadi lupakanlah segala hasratmu yang menginginkan saya jadi pendamping hidupmu. Ingat, pernikahan itu bukan untuk seminggu atau sebulan, tetapi untuk seumur hidup, dan bahkan hingga di akhirat kelak!" ujar Asri, demikian perempuan itu dipanggil, kembali bicara kepada Wiratma, seorang laki-laki yang duduk di hadapan dirinya.


Hanya bunyi daun-daun jatuh, desah nafas, dan nyanyian serangga yang terdengar saat itu, sebelum sepenuhnya cahaya bulan ditelan awan yang bergulung dan bergulung dengan warna yang begitu hitam seperti tumpahan aspal yang mendidih di badan jalan yang tengah diperbaiki. Wiratma, lelaki yang gagah dan tampan ini memang tengah jatuh cinta kepada Asri, seorang aktivis muda, juga seorang pekerja yang tekun pada sebuah perusahaan media massa di Kota Kenanga, salah satu kota dari sekian kota besar di Negeri Matahari Terbit dan Tenggelam yang dikepung oleh lautan yang demikian luas, yang bila gelap malam tiba sering dikunjungi oleh kapal-kapal asing dengan tujuan utama merampok berbagai jenis ikan laut yang hidup di situ, selain menyelundupkan beberapa barang elektronik atau mobil-mobil mewah, yang dipindahkan di tengah laut ke kapal lainnya. Desir angin dari tangkai ke tangkai pohonan terdengar nyaring malam itu. Wiratma menarik nafas dalam-dalam, demikian juga Asri. Sesaat ke duanya tampak tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

"Apa yang menjadi alasanmu, yang menyebabkan kau menolak ajakanku untuk menikah secepat mungkin? Bukankah aku sudah bekerja dan punya rumah? Kau sendiri sudah bekerja, bukan?" tanya Wiratma.

Ditanya demikian Asri diam sesaat, tersenyum kecut. Ditatapnya tajam-tajam wajah Wiratma, orang yang mungkin dicintainya dan mungkin juga tidak sama sekali.

Asri hanya menganggapnya sebagai teman dekat, tidak lebih dan tidak kurang. Sebagai teman dekat, belum tentu ia identik dengan pacar atau calon suami bagi diri Asri yang tidak haus dengan segala bentuk kekayaan. Sebagai jurnalis yang mempunyai kemampuan cukup tajam dalam melaporkan berbagai kasus tindak kriminal maupun berbagai peristiwa seni dan budaya, Asri hidup dalam pola yang sederhana. Upah yang didapatnya tiap bulan memang besar. Sebagian digunakan untuk kepentingan sehari-sehari, sebagian lagi untuk kepentingan sosial dan ditabung untuk masa depan. Sebuah masa depan yang diimpikannya adalah sebuah masa depan yang mampu memberikan kebahagiaan kepada dirinya, yang mampu membebaskan dirinya dari sebuah situasi yang buruk yang dialami oleh almarhum ayahnya tercinta, Ki Pandan.

"Apa yang kau ketahui tentang diri saya?" tanya Asri kepada Wiratma yang berkali-kali menatap tubuh dan wajah Asri dengan gairah terpendam. Asri tidak peduli dengan tatapan mata semacam itu, yang sesungguhnya amat dibencinya. Tapi mau apa, pikiran dan perasaannya pada saat itu tengah terfokus pada sebuah masalah yang harus diungkapnya secara terbuka kepada Wiratma, yang dikenalnya sejak duduk di semester delapan di Universitas Ayam Pelung, yang banyak melahirkan pemikir-pemikir terkemuka di negeri ini.

"Banyak. Aku tahu banyak tentang dirimu. Aku sudah tahu, siapa kamu, apa dan bagaimana keluargamu sudah aku ketahui secara seksama. Semua itu sudah aku utarakan kepada ayahku, ibuku, dan keluargaku, dan mereka setuju bila aku menyunting dirimu sebagai istriku. Ayah dan ibuku sudah tahu pula siapa dirimu. Jadi, apalagi yang kau ragukan dari hubungan kita yang sudah berjalan hampir tiga tahun?"

Asri lagi-lagi tersenyum kecut mendengarnya. Ia yakin bahwa Wiratma tidak mengetahuinya secara mendalam tentang dirinya dan masa lalu keluarganya, yang sering dituduh orang sebagai sampah masyarakat. O, sampah masyarakat? Apa pula makna dari kata-kata ini, bila kejahatan-kejahatan tertutup justru terjadi di tengah-tengah kehidupan para penguasa? Bukankah belakangan ini banyak sudah tingkah laku orang-orang yang merasa dirinya "terhormat" yang justru tidak lebih dan tidak kurang tingkah lakunya mirip para bandit; yang pandai menyamar jadi orang-orang suci, begitu dermawan, dilimpahi banyak puja-puji dari orang-orang yang tidak mengenalnya secara nyata?

"Sampah masyarakat, sekali lagi, apakah makna dari kata-kata ini dalam kehidupan saya yang tempuh ke muka," batin Asri, setelah membetulkan posisi mantel yang dipakainya, yang dirasanya tidak enak di beberapa bagian tubuhnya sendiri.

"Kau belum tahu apa-apa rupanya. Kau belum tahu siapa ayah saya yang sesungguhnya. Saya bertekad sebelum bisa memulihkan nama baik ayah saya, mana mungkin saya menikah dengan seseorang yang saya yakini pada suatu hari kelak pasti akan menyesal menikahi saya karena saya dilahirkan ke muka bumi bukan dari keluarga baik-baik sebagaimana yang disangka orang banyak selama ini."

Mendengar jawaban semacam itu, Wiratma diam sesaat. Ia seakan-akan baru sadar, bahwa dirinya tengah berhadapan dengan sebuah persoalan besar, yang demikian berat menimpa Asri. Atau jangan-jangan Asri malah tengah menghindar dari kehidupan Wiratma, karena Asri mempunyai pacar baru, yang dikatakannya bahwa dirinya tengah menjalin hubungan pertemanan dengan seorang penyair yang tengah naik daun, yang lahir dari kalangan orang-orang biasa, orang-orang yang sering jadi korban pembangunan; ketika tengah terjadi penggusuran dan sebagainya. Konon ayah si penyair itu tahanan politik, yang mati di Pulau Brubuh, dalam masa pembuangan. Ia terlibat dalam pemberontakan Gerakan 30 November 1969 sebuah gerakan radikal yang berupaya menggulingkan penguasa yang sah, yang bercokol pada saat itu, yang dinilainya korup, dan bahkan begitu represif terhadap rakyatnya sendiri, seperti main tangkap, main culik, juga main bunuh dengan menjatuhkan hukuman mati tanpa proses pengadilan. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1976, rezim yang dinilai represif dan sangat militeristik itu tumbang juga oleh gerakan mahasiswa yang didukung oleh faksi-faksi militer yang mulai membenci tindak-tanduk sang penguasa yang haus darah, Perdana Menteri Gulazeb.

"Asri, aku tidak mengerti dengan apa yang kau katakan barusan. Bukankah ayahmu itu seorang guru di sebuah sekolah, yang sebentar lagi akan memasuki masa pensiun. Jadi mengapa aku harus malu punya mertua seorang guru? Atau jangan-jangan alasan itu kau ada-adakan setelah kau terpikat oleh teman barumu yang penyair itu?" tanya Wiratma dengan nada suara yang terasa sekali dibebani oleh rasa cemburu yang demikian besar pada si penyair yang dimaksud oleh ucapannya itu.

"Apa yang kita bicarakan saat ini, tak ada sangkut-pautnya dengan Kimung yang kau sebut sebagai penyair itu. Apa yang saat ini akan saya jelaskan kepadamu; semua itu bersangkutan dengan hidup saya yang kelam, yang saya yakini kau tidak pernah menduganya. Ayah saya yang guru itu, yang kau kenal selama ini adalah ayah angkat saya, tepatnya ayah tiri saya. Ibu saya menikah lagi dengan dirinya, setelah ayah saya meninggal dunia. Inilah yang menjadi ganjalan saya, mengapa saya menolak disunting oleh dirimu menjadi istrimu. Ganjalan itu adalah misteri di balik kematian ayah saya, yang saya lihat dan saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri ketika saya berumur 12 tahun, dan itu terjadi 16 tahun lalu. Apa yang kau ketahui tentang semua ini?" tanya Asri dengan paras yang penuh penantian mengharapkan sebuah jawaban yang tepat, yang mampu menenangkan pikiran dan perasaannya, terucap dari mulut Wiratma.

Ditanya demikian, Wiratma malah menggelengkan kepala. Bungkam.
"Saya tidak tahu apa-apa, tentang apa yang terjadi pada dirimu ketika kau berumur 12 tahun. Kalau boleh tahu, apakah kau tidak keberatan bila semua itu kau ceritakan kepadaku? Aku akan menyimaknya dengan sebaik-baiknya, dan semoga aku tidak terkejut karenanya. Bila memungkinkan aku ingin turut serta meringankan penderitaan batinmu!" tutur Wiratma, dengan isi kepala yang juga diliputi berbagai macam pertanyaan.

"Bila mungkin, ah, mengapa bila mungkin? Bila tidak, lantas bagaimana?" yang jelas semua kata-kata itu ditelan Asri bulat-bulat. Tiba-tiba Asri merasa yakin bahwa Wiratma memang bukan pasangan hidupnya yang cocok bagi dirinya. Meskipun begitu, Asri harus menceritakan apa yang terjadi di masa lalunya kepada Wiratma, yang kini tengah bersiap-siap mendengarnya.

"Baiklah saya akan bercerita kepadamu, dan saya tidak peduli apakah kau nanti akan tetap mau memperistri saya atau tidak," jawab Asri dengan mata terpejam, seakan mengingatkan kembali segala peristiwa yang menyebabkan dirinya terpenjara oleh sebuah pengalaman masa lalu yang buruk, yang begitu memukul batinnya. Sesaat kemudian Asri pun berkisah, beginilah ceritanya:

Saat itu, Asri dan ke dua adiknya yang masih kecil tengah bermain-main dengan ayahnya tercinta, di sebuah malam yang terasa begitu damai, di ruang tengah rumahnya. Sedangkan ibunya tengah menyiapkan makan malam di dapur. Tiba-tiba rumah itu sudah dikepung oleh sejumlah orang tak dikenal, dan meminta ayahnya untuk segera ke luar dari dalam rumah itu untuk menyerahkan diri. Permintaan itu diucap dengan kata-kata yang kasar, berbeban ancaman fisik.

Asri tentu saja kaget melihat sebuah kenyataan yang tidak bisa ia mengerti, mengapa ayahnya harus dikepung oleh orang-orang yang tak dikenalnya itu. Yang kaget, tentu saja bukan Asri, tetapi juga keponakannya, Meilani. Asri merasa bahwa ayahnya memang tidak bersalah. Untung ketika diminta menyerahkan diri; tak ada perlawanan apa pun yang dilakukan ayahnya. Saat itu, ketika ayahnya tengah menyerahkan diri kepada orang-orang yang tak dikenalnya itu, ia diantar oleh istrinya tercinta Ratmini hingga ke luar pintu halaman rumahnya. Begitu Asri dan ibunya membalikkan badan, tiba-tiba terdengar letusan senjata api yang demikian memekakan telinga. Asri menjerit. Saat itu ketika membalikkan badannya bersama-sama dengan ibunya, dilihatnya ayahnya sudah tersungkur ke tanah dengan tubuh bersimbah darah.

"Esoknya saya sudah mendapatkan ayah saya telah meninggal dunia di sebuah rumah sakit yang jauh dari rumah saya. Esoknya lagi berbagai media massa ramai-ramai memberitakan kejadian itu, dengan tuduhan yang hingga kini tidak bisa dibuktikan secara hukum, bahwa ayah saya melawan petugas dan akan melarikan diri dari genggaman petugas setelah mengancam beberapa petugas dengan senjata tajam. Senjata tajam macam apa yang dibawa ayah saya? Ia tidak membawa apa-apa pada saat itu. Selain itu, yang menyakitkan perasaan saya dari berbagai berita yang saya baca, dan saya masih menyimpannya hingga kini, adalah bahwa ayah saya dituduh sebagai biang pengedar narkotika, bandar judi gelap, dan juga sebagai otak pelaku berbagai tindak kejahatan di kota ini, seperti pencurian mobil mewah yang semua hasilnya itu digunakan untuk kepentingan gerakan partai terlarang, Partai Kembang Bakung. Hal inilah yang membuat saya menangis hingga kini. Adakah ayah saya seorang penjahat besar, anggota partai terlarang?" papar Asri, dengan mata yang memerah oleh rasa duka yang demikian dalam menggores hati dan perasaannya.

"Semakin dewasa, saya semakin ingin tahu apa sesungguhnya yang terjadi dengan ayah saya. Paman saya bilang kemungkinan besar ayah saya dibunuh karena ia mengetahui secara mendalam tindak kejahatan yang melibatkan orang-orang atas, entah itu soal menyangkut narkotika, penggelapan uang negara, pencurian mobil mewah, pencucian uang di berbagai bank, dan sebagainya. Data-data yang dipunyai ayah itu akan diserahkannya kepada seseorang teman dekatnya yang bekerja di sebuah media massa. Sayang, semua data-data itu menghilang seiring dengan kematian ayah saya dan seringnya ibu saya dipanggil oleh orang-orang tak dikenal ke sebuah tempat, atau didatangi oleh orang tak di kenal ke rumah saya dengan muka yang beringas. Bayangkan, selama 16 tahun saya mencari keadilan, hanya untuk bertanya apakah ayah saya itu benar-benar penjahat, anggota partai terlarang atau bukan? Orang-orang yang menembak ayah saya entah di mana, dan entah di mana pula orang-orang yang menyuruhnya. Boleh jadi beberapa di antara mereka yang terlibat dalam kasus penembakan ayah saya itu ada yang sudah mati, atau jadi pejabat penting saat ini. Pihak yang berwajib hingga kini tidak mampu mengungkap kasus itu dengan jelas, selain mengatakan bahwa dengan matinya ayah saya; maka rantai dari seluruh peristiwa yang menyebabkan ayah saya terpaksa ditembak dengan alasan berusaha melarikan diri dan melawan petugas itu; jadi gelap, segelap malam yang pekat di sebuah gua yang jauh dari keramaian pusat kota. Tentang dirinya sebagai anggota partai terlarang pun gelap pula adanya. Beberapa anggota pengurus partai terlarang itu tak seorang pun yang mengenal ayah saya, ketika saya bertanya kepada mereka. Dari sejumlah nama anggota partai terlarang yang ditangkap, yang sebagian di antaranya telah dibunuh tidak mengenal nama ayah saya. Kini, setelah kau mendengar semuanya, masihkah berhasrat meminta diriku jadi istrimu?" tanya Asri kepada Wiratma yang berkali-kali menggelengkan kepala seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya itu.

Hening. Cahaya bulan sempurna sudah ditelan awan hitam di langit yang jauh. Arus angin yang kencang menerbangkan guguran daun-daun jatuh yang beberapa di antaranya menimpa rambut dan pundak Asri. Wiratma saat itu, diam tidak bisa berkata apa-apa.

"Kau ingin tahu, siapa nama ayah saya? Ia Ki Pandan, penjahat besar yang menghebohkan pada zamannya, yang hingga kini tak ada seorang pun yang bisa membuktikan apa jenis kejahatan yang telah diperbuatnya itu. Tanyalah pada ayahmu, apa ia masih mau punya seorang menantu anak pertama dari seorang penjahat besar? Wiratma, ketahuilah, di dadaku sejak itu tumbuh bermacam-macam jenis dendam, yang entah pada siapa harus saya tujukan Setiap malam saya selalu berdoa bahwa orang-orang yang terlibat dalam kasus pembunuhan ayah saya semoga mendapatkan hukuman yang setimpal dari Allah SWT. Kadang ketika selesai membaca Alquran, entah itu surat-surat pendek atau panjang saya selalu berdoa kepada Allah SWT, agar mereka yang terlibat maupun yang merencanakan pembunuhan terhadap ayah saya semoga masuk neraka. Saya terpaksa berbuat demikian, karena saya tidak tahu lagi harus dengan cara apa mencari keadilan? Saya tahu, apa yang saya perbuat ini salah. Tapi apa mau dikata, semua sudah sehitam aspal jalanan," jelas Asri.

Sesaat percakapan terhenti. Wiratma semakin diam sebeku batu. Diam-diam di dalam hatinya, Wiratma merasakan sebuah keyakinan yang goyah, antara mendesakkan niatnnya kepada ayahnya dengan informasi yang baru untuk tetap meminang Asri menjadi istrinya atau tidak sama sekali. Terus terang, Wiratma sesungguhnya cukup terkejut ketika mendengar nama Ki Pandan yang diakui Asri sebagai ayahnya. Wiratma tahu nama itu dari cerita ayahnya, bahwa Ki Pandan adalah penjahat yang pandai menyamar, yang hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai orang biasa. "Ia bahkan orang penting dari pentolan partai terlarang," kata ayah Wiratma kepada Wiratma pada suatu hari, yang tanggal, bulan dan tahunnya sudah pupus dalam ingatan ayahnya.

"Aku turut prihatin dengan apa yang kau derita selama ini. Semuanya akan aku ceritakan kepada ayahku; ibuku, dan keluargaku, siapa dirimu yang sesungguhnya. Aku berharap mulai saat ini jika kau berdoa, doakan saja ayahmu agar diampuni dosa-dosanya. Biarlah apa yang dilakukan oleh mereka yang terlibat dalam kasus pembunuhan ayahmu itu menjadi urusan Allah," tutur Wiratma sambil menggenggam tangan Asri.

Asri hanya menundukkan kepala saat itu. Ia tidak bisa lagi mendengar lebih lanjut apa yang dikatakan oleh Wiratma terhadap dirinya. Yang terbayang dalam benaknya adalah rasa sakit yang diderita ayahnya; ketika punggung belakang ayahnya ditembus oleh timah panas yang parat ke dada, dan gerak liar peluru tajam itu ternyata telah pula menghancurkan jantung ayahnya. Di tubuh ayahnya, ketika mayatnya dimandikan ditemukan delapan liang luka.

"Ceritakanlah kepada ayahmu, agar kau tidak menyesal menyunting saya sebagai istrimu. Saya sendiri sudah siap untuk hidup menyendiri. Malah bagi saya lebih baik saya hidup menyendiri daripada suatu hari kelak anak-anak saya tahu apa dan bagaimana kakeknya itu, yang sesungguhnya dalam pandangan mata saya - ia lebih terhormat daripada para koruptor yang jelas-jelas perampok uang rakyat dan negara. Tapi sudahlah, semakin saya memikirkan hal itu, semakin sakit hati dan perasaan saya disayat oleh sebuah pengalaman yang demikian buruk dalam hidup saya. Saya minta kepadamu, menjauhlah dari kehidupan saya untuk beberapa saat. Jika kau memutuskan pergi dari kehidupan saya untuk selamanya, pergilah. Saya tidak akan luka karenanya. Hati saya sudah demikian hancur, jadi tidak akan menangis oleh persoalan-persoalan sepele, lagi pula saya ragu apakah saya benar-benar jatuh cinta pada dirimu atau sekadar kasihan kepada dirimu yang selama ini terus-menerus mengejar diriku?" tutur Asri sambil melayangkan pandangan matanya ke arah langit yang jauh, yang pekat oleh gulungan awan hitam dan kabut semata-mata.

Mendengar kata-kata terakhir, Wiratma kaget, tapi ia berusaha sedemikian rupa untuk menyembunyikan perasaannya yang juga luka, bahwa ternyata Asri tidak mencintai dirinya. Atau jangan-jangan Asri tahu, bahwa ayah Wiratma merupakan salah seorang dari para pembunuh ayah Asri? Entahlah, Wiratma pusing sendiri jika mengingat begitu lancar ayahnya bicara soal Ki Pandan, penjahat besar yang juga anggota partai terlarang itu.

Hening.

Beberapa saat kemudian setelah ngomong ini dan itu, rasa jenuh pun menyergap keduanya. Asri menolak diantar pulang oleh Wiratma ke rumahnya. Asri memutuskan pulang sendiri. Di beberapa ruas jalan yang dilaluinya, ia berkata di dalam hatinya, "Kekasih atau bukan; Wiratma, kau nyatanya orang lain dalam hidupku. Dan aku adalah orang asing bagi dirimu dan keluargamu. Orang yang tak akan pernah kau jumpai lagi dalam segala kisahmu."

Sesaat kemudian, Asri memberhentikan sebuah kendaraan yang lewat di hadapan dirinya, yang kemudian membawanya ke arah kota. Di dalam mobil angkot, ia ketemu dengan Kimung entah dari mana. Percakapan-percakapan ringan pun terjadi sebagaimana biasanya. Kimung begitu antusias mendengar kisah yang diungkap Asri, yang kata Kimung mirip dengan kisah yang dialami oleh ayahnya, yang tak pernah dikenalnya sepanjang hidupnya, setidaknya sejak Kimung masih bayi, berumur dua bulan.***

(19 Februari 1995)


Tidak ada komentar: