Oleh Doni Fahamsyah Setia Budi
(Sesuai zaman, Ludruk menjadi kesenian tradisional yang mulai ditinggalkan penontonnya. Jika tidak bisa membaca kondisi masyarakat, bukan tak mungkin ludruk akan mati.)
Apabila kita memudarkan waktu pada beberapa dekade saja maka kita akan menjumpai sebuah gambaran yang tentunya sangat asing. sat itu kita melihat geliat semarak ludruk pada era 1970-an. tentu para pemain ludruk Irama Budaya yang sekarang sedang kembang kempis karena sepinya penonton. Di tahun itu tak ada yang mengeluh tentang bayaran mereka. Sekarang pemain Irama Budaya sekali tampil hanya senilai Rp. 5.000,-. Hanya cukup untuk membeli nasi sebungkus.
Masa itu lundruk menjadi lahan yang sangat menggiurkan sebagai tempat menggantungkan nafkah. Juga menjadi tontonan yang selalu dinantikan. Penontonnya berdesakdesakan.
Seiring dengan perkembangan zaman, ludruk mulai terdepak karena minat masyarakat sudah beralih ke media yang dianggap lebih menghibur. Bisa jadi ini tidak hanya terjadi pada ludruk tetapi juga dalami oleh kesenian tradisional harus mati begitu saja dengan merebaknyna globalisasi. Ada beberapa seni pertunjukan yang bisa tetap eksis walaupun mengalami perubahan fun gsi. Ada pula kesenian yang mampu beradaptasi dan mentranformasikan diri dengan memanfaatkan teknologi komunikasi yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat. Misalnya, ketoprak dan wayang.
Karena secara umum ludruk hamper sama dengan ketoprak, sebenarnya alternative penyelesaiannya juga bisa mencontoh ketoprak.
Ketika ketoprak panggung dijauhi pemirsa karena banyaknya alternative hiburan yang lain, seperti melalui radio, televisai, vcd, dan film, mereka justru menggunakan media tersebut sebagai alternative baru untuk menghidupkan sekaligus melestarikan kesenian ketoprak. Ini juga terjadi pada wayang kulit. Sentuhan campursari di sela pementasan menjadi daya tarik tersendiri.
Kondisi ludruk di Surabaya dapat dibedakan menjadi tiga. Ini karena ludruk yang eksis di Surabaya Cuma ada tiga yaitu ludruk Kartolo cs, ludruk RRI Surabaya, ludruk Irama Budaya. Kartolo cs tetap tampil di televii walaupun harus berkompromi menghilangkan pakem khas ludruk seperti tarian pembuka, jula-juli, dan bedhayan.
Ludruk RRI Surabaya lebih beruntung karena memiliki tempat yang paten di radio. Ludruk yang dipimpin Haji Agus Kuprit ini mendapat sponsor setia.
Yang ketiga, ludruk Irama Budaya yang bermarkas di daerah Wonokromo. Kelompok ludruk ini benar-benar kembang kempis untuk mempertahankan eksistensinya. Dengan harga tiket Rp. 3.000, setiap pentas mereka hanya ditonton segelintir orang. Tragis memang. Tetapi ini tinggal menunggu keseriusan banyak pihak untuk tetap membuat ludruk hidup layak.
7.3.08
Ludruk Aset Budaya Surabaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar