17.2.08

Seni Helaran, Seni Teater Jalanan

(Oleh ARTHUR S. NALAN)

KALAU Indonesia merupakan zamrud khatulistiwa, maka Jawa Barat adalah pusatnya, demikianlah yang dikatakan Dauwes Dekker setengah abad yang lalu (Arief, 1990:21). Kutipan ini sengaja disajikan dalam tulisan ini untuk menunjukkan bahwa Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tidak salah memilih Jawa Barat, tepatnya Kota Bandung untuk lokasi Kemilau Nusantara 2004, yang dirancang diselenggarakan tiap tahun di Jawa Barat. Munculnya satu pengakuan dan perlakuan terhadap lemah cai Jawa barat merupakan "tantangan" besar bagi pengelola dunia kebudayaan dan pariwisata Jawa Barat. Tantangan itu adalah menjadikan peristiwa budaya itu sebagai peristiwa apresiasi seni bagi masyarakat, baik masyarakat umum maupun masyarakat pelajar dan mahasiswa. Hal ini esok hari tampaknya perlu dipikirkan keterlibatannya. Seni Helaran dapat dianggap sebagai Theatre of The Road karena pertunjukannya bersifat mobile (bergerak) sepanjang jalan yang dilalui.
Di Jawa dikenal sebagai kirab, di Madura dan Bali sebagai arak-arakan. Jalanan sebagai area pertunjukan yang menampilkan iring-iringan pesta rakyat atau pesta persembahan rasa syukur dari satu tempat ke tempat lain yang memiliki tujuan menunjukkan penghormatan pada yang dianggap patut dihormati.



Dalam kilasan sejarahnya teater jalanan di pelbagai tempat, baik di Asia maupun di nusantara terdapat beberapa keterangan yang menunjukkan bahwa kita patut bersyukur tentang helaran ini, karena sejak dulu peristiwa-peristiwa yang mengandung banyak persamaan dengan pesta-pesta keramaian yang bertumpu pada agama, rasa kebersamaan, perlombaan, perjudian, teater, lawakan dan ditinggalkannya larangan-larangan untuk sementara. Konsep Dewaraja (Raja dianggap sebagai titisan Dewa) yang diacu, ibu kota atau tempat yang dipakai kegiatan menjadi pusat magis dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidup mereka. Namun sejalan dengan kepentingan lain, yakni kepentingan pariwisata khususnya, bentuk-bentuk tersebut telah mengalami proses tafsir yang merujuk pada kebutuhan pasar, dengan cara mengembangkan bentuk seni kemas (package art) maka lahirlah pelbagai bentuk kemasan yang menunjukkan kemampuan para pengemasnya. Di masa lalu, gambaran pesta-pesta keramaian itu dapat kita telisik di relief Borobudur, dalam peristiwa iring-iringan Raja Ternate menuju Masjid, dalam arak-arakan Raja Aceh menuju mesjid untuk Iduladha 1637, arak-arakan mengiring jenazah orang Cina ke kuburan di Jakarta tempo doeloe dan lain-lain.
Sementara di Jawa Barat terdapat pada Kidung Sunda dan Pantun Mundinglaya (di Jawa Barat lebih banyak artefak dalam bentuk keterangan tertulis daripada gambar). Pada masa pascakemerdekaan, seringkali kita menyaksikan seni pawai terutama pada perayaan hari Kemerdekaan RI yang pernah hidup dan berkembang di setiap kabupaten di Jawa Barat. Hampir dapat dipastikan gambaran bentuknya memiliki similaritas antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Gambarannya sebagai berikut: Pagi hari iring-iringan dari setiap desa berkumpul di kecamatan dan kemudian berangkat ke kabupaten. Iring-iringan berkumpul di Alun-alun di depan kantor bupati. Aneka hasil bumi, aneka hasil kerajinan, aneka kamonesan (kreasi), aneka kesenian tampil di tempat itu, juga di sepanjang jalan yang dilalui. Masyarakat memenuhi alun-alun, bahkan sepanjang jalan yang dilalui. Upacara syukuran hari kemerdekaanpun berlangsung khidmat, dan setelah itu satu persatu wakil kecamaataan itu secara tertib kembali ke tempatnya masing-masing. Dewasa ini peristiwa itu tak terdapat lagi, sejalan dengan perkembangan pembangunan banyak alun-alun yang dahulu berfungsi sebagai tempat berkumpul setahun sekali seluruh masyarakat se-kabupaten telah berubah menjadi taman kota dan sarana pesona lainnya. Kemudian di masa Orde Baru peristiwa helaran semacam ini, menjadi dipisahkan, ada festival helaran yang masih tetap bergerak di jalanan ditambah atraksi di depan panggung kehormatan dan ada pameran pembangunan (di mana hasil bumi, palawija, kerajinan dan lain-lain dipamerkan statis). Kita sekarang mewarisinya. Namun apakah kita hanya sebagai pewaris pasif atau mau sebagai pewaris aktif? Kalau kita mau menjadi pewaris aktif, maka harus dirumuskan Seni Helaran atau Theatre of The Road yang bagaimana yang akan dijalankan sebagai konsep pertunjukan yang menarik, atraktif, tanpa meninggalkan akar ketradisiannya. Merumuskannya pun harus dengan orang yang benar-benar ahli di bidangnya, sekarang sudah banyak ahli pertunjukan yang cukup mumpuni, baik dari akademisi seni maupun dari seniman berpengalaman. Jadi jadikanlah mereka mitra untuk duduk bersama, membicarakan apa yang harus dilakukan untuk pesona nusantara, khususnya untuk pesona Jawa Barat, lebih khusus lagi untuk pesona Kota Bandung.

MENONTON Kemilau Nusantara 2004 pada tanggal 5 Desember 2004 lalu, yang pantas disimak dan menarik adalah ketika Menteri baru Budpar Jero Wacik mengomentari pertunjukan awal pembuka acara, yang berbentuk kamonesan dari para mahasiswa STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Bandung yang membawa vandel tampir bertuliskan "kelompok seni seret order" dengan penuh optimisme dan harapan besar, menteri meminta khalayak berdoa supaya nanti yang seret-seret order menjadi kebanjiran order. Itu saja sebenarnya sudah menjadi "tantangan" baru bagi pemerintah pusat, maupun pemerintah Jawa Barat, juga bagi Wali Kota Bandung. Ibarat batu akik yang bagus kalau tak pernah dibentuk dan digosok maka takan pernah muncul cerlangnya. Cerlang ini adalah Kemilau yang kita inginkan bersama. Lalu dari rangkaian yang tampil sebanyak 17 provinsi, dapat ditarik garis oleh saya, ada yang dikemas dengan baik, dengan biaya yang cukup, tetapi ada yang dikemas tidak baik, dengan biaya yang tak cukup. Jawa Barat sendiri tampil dua kali, sayangnya entah tak ada yang mengemasnya atau entah asal ikut "ulah tambah teu ngilu era, piraku nu boga imah teu ngilu, era atuh ku semah" tetapi nyatanya "ngerakeun", terus terang bagi saya memalukan, memiskinkan kekayaan Jawa Barat. Apakah Jawa Barat tidak mau berkorban untuk seniman, memberi biaya yang cukup, memanggil ahlinya yang mumpuni, mengemasnya dengan baik ? Bukankah kita sudah punya Perda Kebudayaan 6-7-8 tahun 2003. Apakah Perda dibuat hanya untuk dilihat dan hanya dicetak, tidak dibaca dan dimplementasikan ? Sayang sekali kalau begitu.

Tampilan yang perlu disaluti adalah tampilan Kavaleri dengan kuda-kudanya yang janggi (gagah), prajurit yang berseragam pakaian tradisi Sunda (konon menurut tuturan ini pakaian kebesaran Pajajaran) saya berani katakan bukan, itu pakaian tradisi Sunda Ayeuna, hasil kreasi tanpa studi yang benar tentang pakaian Sunda lama.

Iket di Jawa Barat ada 150 model (dari barangbang seplak sampai Merak Moyan dll). Sayang kuda menjadi stress karena jalanan bukan tanah, tekanan kakinya yang kokoh tak mampu meloncat dengan indah, sehingga ada yang gagal meloncat. Tak apa, ini potensi Jawa Barat yang luar biasa, kelak harus dikemas dengan kolosal, ingat Asia Afrika sebentar lagi, akankah potensi ini diabaikan ? Tampilan yang sungguh menarik, bagi saya memenuhi kriteria menarik-atraktif -aura pesona adalah pertunjukan dari Jateng, Irian, Jatim, dan NTB. Saya tidak perlu berpanjang lebar, dalam hal ini. Tetapi merekalah contoh yang "kemilau". Demikian catatan saya tentang Kemilau Nusantara 2004, meskipun saya "tidak jadi" untuk jadi pengamat, tetapi saya tetap mengamati.

(Arthur S. Nalan, Pengamat Budaya, Seniman Teater, Penulis Lakon, sekarang tengah menjadi Ketua STSI Bandung)

Tidak ada komentar: