30.3.08

SINETRON

(David Tri R. ; 2006)

Awal ’90-an, dunia perfilaman Indonesia sedang mengalami lesu darah. Hal ini terlihat dari produsi film Indonesia yang makin menyusut. Kalaupun ada produksi, masih dengan tema-tema lama dan kualitasnya pun masih diragukan. Saat itu tema-tema kolosal dan peperangan tetap digarap. Indikasi lain lesunya perfilman kita adalah mendominasinya film-film impor yang mengantri untuk diputar di bioskop-bioskop kita. Mulai dari film Hollywood, Jepang, Cina hingga film-film Bollywood India. Bila kita coba menengok ke papan jadwal bioskop waktu itu maka judul-judul seperti Knock Off, Predator, Rambo-dengan berbagai versi, Ninja & Samurai, Restorika Meiji, Shaolin Kungfu, One Upon Time In China dan beberapa judul India Lainnya, sedang ramai-ramai diputar. Jarang sekali judul-judul film Indonesia yang terpampang. Kalaupun ada maka film-film itu adalah produksi lama dan film-film panas. Hingga klimaksnya adlah muncul pertanyaan: Film Indonesia tidak bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.



Saya tidak tahu kenapa kondisi perfilman kita saat itu sedang lesu-lesunya. Di sisi lain kondisi waktu telah menjadi pemicu para sineas kita untuk memproduksi film dengan bentuk lain. Mkaa muncullah yang namanya film televisi. Film ini diproduksi dengan konsep untuk diputar dan disiarkan melalui televisi. Film televisi ini berdurasi sekitar 1,5 – 2 jam dan sekali cerita selesai. Akhirnya film televisi ini berkembang dan melahirkan sebuah bentuk lain yang disebut sinema elektronik atau yang lebih dikenal dengan Sinetron. Bentuk baru ini, sinetron, memiliki perbedaan dengan film televisi di sisi durasi, sekitar 30 -60 menitan dan ceritany berseri.

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa film televisi, sedikit atau malah tidak diproduksi lagi. Mungkin karena biaya produksinya yang lumayan besar dan juga selalu dibutuhkan cerita-cerita baru yang beda sedangkan stock untuk cerita sangat kurang.

Pada malam itu saya menontong TV bersama ibu saya, dipilih-pilihnya acara di TV melalui remote. Hampir semua saluran saat itu menyajikan sinetron. Kemudian beliau berkomentar: “Sinetron-sinetron saat ini suma gitu-gitu aja”. Beberapa saat saya berpikir, apakah komentar ini mewakili kebosanan yang dirasakan oleh pemirsa sinetron yang lain? Apakah ini menjunkkaj sebegitu merosotkah kualitas darti tontonan yang bernama sinetron?

Sinetron seakan menjadi menu utama sajian di saluran televisi. Kalau kita cermati alokasi waktu untuk sinetron (dengan segala variasinya) ini hampir 25 % dari total waktu tayang. Bahkan saya pernah temui, setelah sinetron satu selesai langsung dilanjutkan dengan sinetron berikutnya. Kita sadar itu memang hak stasiun televisi untuk menentukan jadwal acaranya. Tapi kita juga punya hak sebagai pemirsa ’kan, untuk mendapatkan siaran yangberkualitas dari stasiun televisi yang ada di negeri ini?

Apakah sinetron kita saai ini sudak tidak berkualitas?

Mari kita flash back sejenak. Tidak dapat dipungkiri bahwa film Ada Apa Dengan Cinta, yang bertema remaja, menjadi tonggak bangkitnya kembali perfilman kita. Kemudian diikuti oleh Eifel I’m Love, yang juga mengedepankan dunia remaja, mendapat sambutan yang antusias. Hal ini semakin memperjelas kebangkitan perfilman kita. Tapi apa yang terjadi dengan sinetron kita? Sinetron kita malah membeo. Sinetron-sinetron remaja banyak diproduksi. Seri-seri baru muncul. Televisi penuh dengan remaja-remaja yang bergaya ala metropolis.

Beberapa waktu kemudian, salah satu stasiun televisi menyajikan sinetron yang berbau horor-mistik. Dan itu mendapat rating tinggi. Akhirnya riuh ramai sinetron remaja penuh gaya itu mulai tergusur. Hampir semua stasiun televisi menyajikan sinetron dengan tema-tema horor-mistik.

Suster ngesot tampil di stasiun A, kuntilanak tampil di stasiun B dan pasukan hantu lainnya tampil di stasiun yang berbeda.

Kabar termutakhir dari stasiun kita, tema yang sedang ramai adalah sinetron religius. Cerita-cerita yang berbau agama mulai diangkat. Tokoh pemuka agama mulai hadir baik dalam cerita maupun diakhir cerita sebagai penegas bahwa ini adalah sinetron religius. Lagi-lagi hampir semua stasiun televisi menayangkan sinetron yang bertema religius. Tapi apa yang terjadi kemudian? Yang katanya sinetron religus itu mulai berbelok arah lagi menjadi sinetron religus-mistis. Ironisnya cerita yang diusung malah jauh dari nilai-nilai religius. Entah setelah ini tema apa yang akan mewabah di sinetron kita.

Selain tema yang bersifat musiman, sinetron kita juga tidak realistis. Maksudnya adalah cerita-cerita yang diangkat oleh hampir semua sinetron kita adalah jauh dari kehidupan nyata meyoritas pemirsanya. Saat tema remaja mewabah, tokoh-tokoh remaja disitu digambarkan kaya, serba berkecukupan: bermobil dan menenteng Hp, baju warna-warni yang mahal. Dan jika menampilkan anak sekolah pasti baju semaunya sendiri. Atau jika sinetron itu adalah sinetron keluarga pastilah cerita yang diangkat adalah cerita metropolis dengan tokoh yang mapan. Seperti sebuah keluarga yang kaya, punya perusahaan, terjadi perselingkuhan, perebutan harta ...., Apakah itu memang menggambarkan masyarakat yang sebenarnya? Cerita yang tidak realistis seperti ini cenderung memberikan pelajaran yang kurang baik bagi pemirsanya atau tidak mendidik. Bukankah selain hiburan kita juga membutuhkan pengetahuan dan pelajaran yang baru dari sinetron.

Akhir-akhir ini muncul lagi tema baru yang coba diusung, sinetron komedi dewasa. Ditayangkan tengah malam, ceritanya komedi dengan bumbu-bumbu sex. Diperindah dengan pemain-pemainnya yang berpakaian seksi. Tapi bagaiman aceritanya? Ah, tak lebih dari cerita murahan.

Kadang timbul pertanyaan, apakah tema yang musiman seperti itu dibutuhkan oleh pemirsa, atau memang sengaja dijejalkan?

Alternatif baru

Di tengah hingar bingar beraneka ragam sionetron itu, hadir sebuah sinetron yang benar-benar besa. :Kiamat Sudah Dekat” yang disutradarai oleh Deddy Miswar itu menjadi alternatif baru. Seolah ingin melawan arus. Sinetron ini begitu komplek dalam segala hal. Tema remaja dan religius juga diangkat. Cerita yang dikedepankan juga ringan namun realistis. Dari segi penulisan cerita diterapkan dengan apik dan manis. Dan yang terpenting ada pengetahuan dan pelajaran baru yang dapat diperoleh bagi pemirsanya.

Tidak salah jika sinetron ini mendapat anjungan jempol dan merupakan sinetron favorit SBY. Sinetron ini mampu menggambarkan masyarakat Indonesia sesungguhnya, begitulah kira-kira beliau pernah berkomentar. Tidak itu saja, beberapa waktu yang lalu Kiamat Sudah Dekat juga mendapatkan penghargaan sebagai sinetron terbaik, penulisan cerita terbaik dan sutradara terbaik.

Apakah yang lain mampu menandinginya?

Pelaku sinetron

Sesungguhnya perkembangan kualitas sinetron bertumpu pada para pelakunya sendiri. Siapakah merteka ini? Pemirsa atau penonton adalah pelaku pasif dari sinetron. Meski bagitu mempunyai pengaruh yang mengapresiasi melalui kritik dan saran, tidak hanya sekedar duduk di depan TV dan menikmatinya.

Sedangkan pelaku aktifnya adlaah pada pekerja sinetron yang bernaung di bawah bendera Production House, artis termasuk di dalamnya, dan stasiun televisi. Suatu langkah penting bagi pelaku aktif adlah menghasilkan dan menyajikan sebuah karya yang berkualitas dari segala sisi, tidak hanya ikut-ikutan. Dan yang lebih penting mamiliki tanggung jawab moral terhadap masyarakat negeri ini.


Tidak ada komentar: