30.3.08

Perempuan

Perempuan itu Menapaki Pasir di Pinggir Laut dengan Sepasang Kaki Telanjangnya

(Lubis Grafura)

Masihkah ada orang yang percaya bahwa di laut ada seekor putri duyung yang tiap subuh selalu muncul di pinggi laut? Di punggungnya tergerai rambut panjang yang terlepas dari sampul sanggul. Putri duyung itu menapaki pasir di pinggir laut dengan sepasang kaki telanjang, namun ombak akan segera menghapus jejak kakinya di pasir. Seolah kecantikan dan segala bukti tentang duyung itu dilipat sembunyikan oleh alam.

Ikan duyung? Dengan sepasang kai telanjang?

Pertanyaan itu yang sering muncul ketika aku mulai menceritakan hikayat seorang putri duyung yang setiap subuh selalu berjalan menelusuri pasir di pinggir laut dengan sepasang kakinya yang telanjang.



Aku kira tidak ada yang aneh dengan ceritaku. Seorang duyung memang telah menginginkan dirinya menjadi manusia, dan itu benar-benar terjadi. Toh, apa salahnya seekor hewan (kalau duyung dalam biologi memang di golongkan sebagian dari hewan, sehingga kusebut seekor bukan seseorang) hendak ingin menjadi manusia daripada manusia yang tak pernah merasa dirinya menjadi bagian dari manusia. Bukankah kehendak Gusti selalu bisa saja terjadi.

Duyung itu bisa memakai sepasang kakiny pun ekornya. Ia cukup meniupkan nafas di kepalan tangan, lalu menyentuhkan di ekornya, maka seketika itu ekor yang terbungkus dengan sisik akan berubah menjadi sepasang kaki yang indah. Dan kaki itu, aku mencerikatannya dengan berapi-api sehingga orang-orang yang mendengarkan ceritaku seolah percaya aku benar-benar melihatnya adalah sepasang kaki terindah milik seorang perempuan yang pernah kuliahat.

Sepasang kaki? Akan digunakan apa olehnya?

Ini adalah cerita yang sangat panjang. Betapa sedih atau pahitnya sebuah cerita dalam kehidupan ini, mustilah diceritakan. Pun cerita mengenai seekor putri duyung dengan sepasang kaki tenjang yang ditapakkan di pasir pinggir lautan untuk mencari ayahnya.

Ayah?

Ya, seekor duyung itu mencari ayahnya yang kini pergi entah dimana. Semenjak kecil ia tak pernah melihat ayahnya, hingga ibunya menceritakan bahwa dirinya memiliki seorang ayah. Ayahnnya adalah seorang pelaut ulung yang tak pernah takut dan gentar melawan gelombang dan hantaman badai.

Ayahnya adalah seorang lelaki yang gagah berani. Pada suatu kali perahu yang ditumpanginya menabrak sebuah karang saat badai mengaduk-aduk ombak laut.lelaki itu terdampar pada sebuah pulau kecil dan indah.

Tidak ada yang tahu persis dimana letak pulau itu, aku segera menjelaskannya daripada mengunggu mereka memotong ceritaku untuk minta dijelaskan. Petapun tak pernah melukis pulau itu. Bahkan satelit tercanggihpun tak dapat menangkap seonggok pulau yang terdapat pada cerita ini. Konon, menurut cerita, pulau itu bisa tenggelam dan muncul di permukaan. Pulau itu disebut pulau bidadari.

Pulau itu disebut pulau bidadari karena orang-orang sekitar laut itu sering melihat bidadari di atas tanah itu pada malam hari. Dan penduduk setempat lebih sering menemui kemunculan pulau itu pada saat malam bulan purnama. Kata mereka yang pernah melihatnya, di pulauitu terdapat pepohonan di tengah segunduk tanah, bebatuan halus yang tengah memancarkan cahaya rembulan, juga pasir berkilau memancarkan cahaya rembulan, juga pasir yang seputih gula tempat para duyung menjemur diri di bawah rembulan, mirip dengan turis-turis yang memanggang tubuh mereka di atas pasir.

Telanjang?

Tentu saja! Tentu mereka tidak pakai BH atau apa sejenisnyalah. Jelasnya, mereka tidak memakai sehelai benangpun di tubuhnya. Kalaupun ada Undang-undang Anti Pornografi tentu mereka akan terkena lebih dulu, begitu kata salah seorang dari orang-orang yang kini berada di depanku untuk mendengarkan cerita. Tawa memekak sejenak, tapi mereka kembali mendengarkan ceritaku.

Seseorang memntaku untuk menceritakan bagian bentuk tubuh para duyung yang sedang bertelanjang. Aku menjelaskan kepada mereka bahwa duyungpun memiliki sepasang payudara dengan lingkaran punting ditengahnya, tapi mereka tidak memiliki pusar. Rambut mereka panjang, dan itu sudah menjadi kebiasaan duyung membiarkan rambutnya tergerai jatuh di atas pundahnya yang langsat. Mereka tidak punya kaki tentu saja, ya seperti yang diceritakan orang-orang bahwa duyung tak berkaki, tetapi berekor dan bersisik.

Mereka juga menstruasi setiap bulan. Kalau mereka sedang menstruasi, mereka akan berbau amis. Sudah menjadi kebiasaan para duyung , jika salah satu dari mereka sedang menstruasi, mereka harus tinggal di suatu tempat bersama duyung-duyung lainnya hingga mereka suci kembali.

Tidak ada duyung lelaki, begitu jawabku ketika salah seorang pendengar bertanya kepadaku apakah ada duyung lelaki yang menggauli pada duyung perempuan hingga mereka bisa memiliki anak. Tidak, duyung tidak punya suami, kuulangi jawabanku sekedar menegaskan kepada mereka.

Sebuah fenomena yang unik, memang. Setiap duyung akan hamil dengan sendirinyna. Seklus menstruasi itu berlangsung setiap dua bulan sekali, dan pada usia tertentu si duyung akan mengeluarkan cairan berwarna ungu, dan itu bukan darah. Itu adalah pertanda bahwa duyung tersebut sudah dewasa. Dan dua bulan berikutnya, sudah dipastikan bahwa duyung itu hamil. Dalam seumur hidup, duyyung dapat melahirkan tiga sampai empat anak.

Lalu, dimana letak rahim duyung itu?

Sama seperti letak rahim manusia, kujawab singkat pertanyaan salah satu pendengar yang sendari tadi lebih tertarik kepada ketelanjangan duyung dari pada inti ceritaku. Tapi, sebagai pencerita yang baik aku harus menjawab semua pertanyaan yang muncul di benak para pendengar.

Bisakah kau jelaskan lagi inti cerita mengenai seorang perempuan bertelanjang kaki yang menapaki pasir laut setiap subuh seorang diri dan ayahnya?

Pertanyaan ini sudah kutunggu sejak tadi. Ubun-ubunku sudah mendidih tak tahan untuk segera menceritakan kisah ini.

Ini berawal dari seorang pelaut lelaku yang gagah berani dan perahunya yang terdampar di Pulau Bidadari. Seekor duyung menemukan sesosok tubuh tengah terdampar di pasir. Duyung itu kemudian membawanya ke rumah. Dengangemetar, duyung itu menunggu lelaki itu sadar.

Ia gemetar, karena ia tahu bahwa resiko yang diambilnya terlallu besar. Ada sebuah peraturan yang musti dijalani oleh para duyung. Mereka melarang perasaan cinta kepada manusia (lebih-lebih lelaki). Itu adalah haram dan dosa. Membiarkan perasaannya mencintai lelaki, itu sebagai perilaku yang rendah di kehidupan para duyung.

Tapi perempuan itu, maksudku duyung itu mempunyai perasaan keduyungan. Seperti halnya menusia yang punya rasa kemanusiaan. Rasa keduyungannya itulah yang mengantarkan dirinya untuk berbuat hal demikian: menolong lelaki walaupun dirinya tidak boleh menyentuh, melihat atau berbicara dengan lelaki.

Setalah lelaki itu sadar, perempuan itu sangat berbahagia. Lelki itu bertanya dimanakah kini dirinya berada, dan perempuan itu sambil tersenyum menjelaskan dimana lelaki itu kini berada. Senyum itulah yang membuat lelaki itu merasa jatuh cinta.

Lelaki yang kini berada jauh dari permuakaan air itu dilarang keluar oleh duyung yang menyelamatkannya. Ia harus tinggal di sebuah cangkang raksasa hingga luka ditubuhnya pulih dan perempuan yang menolongnya beberapa waktu yang lalu itu harus naik kepermukaan air untuk mengambil udara ke dalam kantong-kantong.

Pada suatu malam, karena di permukaan laut selalu malam, perempuan itu menuang udara dari kantong untuk lelaki yang kini tinggal di rumahnya tapi entah bagaiman detail ceritanya perempuan dan lelaki itu saling bertatapan. Ada semacam kobaran api yang menjelma menjadi hasrat dalampandangan itu. Mereka bertatapan dengan nyala ragu. Putri duyung itu bibirnya menceracau untuk tidak melakukannya, tetapi tubuhnya memberikan isyarat kepada lelaki itu untuk disentuh dan diberikan seutuhnya. Dan hasrat mereka terlukis pada nyala lilin yang tertiup semilir angin.

Kuhentikan ceritaku sejenak, biarlah para pendengar melanjutkan imajinasi ini menurut pikiran masing-masing sebagai pencerita yang baik, sekali lagi aku memberikan ruang yang sebebas-bebasnya kepada pendengar untuk merangkai cerita itu menurut pengalaman diri pendengar masing-masing.

Yang terjadi selanjutnya adalah, ada salah satu duyung yang tak sengaja datang masuk ke rumah itu dan menjumpai seorang lelaki itu. Kabar melesat secepat mata angin yang dilepaskan dari busur cakrawala. Dan seluruh pulau bidadari itu gempar.

Kau harus pergi sekarang, kata duyung kepada lelaki, kau tidak aman disini. Tetapi lelaki yang gagah berani itu tidak mau meninggalkan kekasihnya seorang diri menghadapi maut yang sudah mengintai dari balik ilalang yang tumbuh didasar laut. Perempuan itu memohon, air matanya mengalir seperti mutiara yang mengalir disungai kering. Melihat bahaya dan permohonan dari mata kekasihnya, lelaki itu akhirnya menuruti apa yang diharapkan perempuan yang kini telah menjadi detak jantungnya dan udara untuk nafasnya.

Cepat, kata perempuan itu, kau harus pergi sekarang. Perempuan itu memberikan buntalan kain saputangan kepada lelaki itu dan beberapa kantung udara untuk persediaan jika ketika menuju permukaan, paru-paru dalam tubuhnya membutuhkan udara.

Sebelum sempat bertanya apa isi buntalan kain saputangan itu, perempuan itu segera menjelaskan bahwa buntalan itu terdapat puluhan mutiara, sehelai benang, dan sebuah jarum pasak laut. Ketika lelaki itu sampai di daratan duyung itu berharap bahwa lelaki itu mau menyulam mutiara itu dengan jarum dan menyatukan mutiara itu dalam satu helai benang yan g jika pada suatu hari ada seorang perempuan cantik berambut panjang yang lepas dari sampul sanggulnya dan dia berjalan dipinggir laut menapaki pasir dengan sepasang kaki telanjang saat subuh menyelimuti langit malam itu adalah pertanda bahwa perempuan itu adalah anaknya. Berikan kalung itu, kata duyung, dan nyanyikan doa ini jika anak kita belum datang.

Duhai anakku, kemarilah datanglah kepada ayah. Kehidupan laut yang kejam semoga cepat berlabuh di daratan, pulanglah kepada ayah nak, dekatkan wajahmu kepadaku, tataplah mataku aku akan mengalun gkan rangkaianmutiara dari ibumu ini di lehermu. Duhai anakku, kau lahir di dunia atas kehendak Yang Kuasa, kau tercipta atas dasar cinta. Kalaupun kau terlahir dari sepasang duyung dan manusia hina, kau adalah anakku yang terlahir tanpa dosa. Biarlah orang tua ini yang menanggung dosa yang pernah diperbuat di masa lalu, hingga malaikat dengan sepasang sayap bosan mengelilingi roda waktu.

Lelaki itu akhirnya pergi menghentakkan kakinya dan melesat keatas permukaan laut. Perempuan itu tersenyum bahagia, kalaupun di hatinya terbersit kecewa kenapa pertemuan itu selalu dibatasi oleh perpisahan, tapi perempuan itu merasa lega karena penderitaan yang kini berada di hadapannya tak perlu lagi dengan lelaki yang dicintai.

Sekelompok duyung datang sambil membawa kobaran api menyeret perempuan yang telah melakukan dosa dan zina. Tali sebesar du jari telah mengikat paksa kedua tangan duyung, pun seutas rantai telah berkalung dilehernya yang kini penuh dengan luka, sehingga tak satu matapun bisa membedakan antara bekas luka dan bekas sepasang bibir lelaki yang kini entah berada dimana.

Perempuan itu diseret dengna tangan terikat dibawa ke Batu Peradilan, disanalah keputusan akan menentukan apakah maut atau penderitaan seumur hidup yang akan menjadi garis takdirnya. Perempuan dengan tangan terikat itu didudukkan paksa hingga jatuh tersungkur di bawah kaki Raja Laut. Semua mata jatuh kepada seekor duyung yang tak berdaya. Raja Laut memandang duyung yang kini bersujud di depannya. Mukanya lebam oleh hantaman, darah segar mengalir segar bersama linangan air mata.

Raja Laut itu tak berkata apa-apa kepada duyung, ia memerintahkan kepada pengawalnya untuk mengasingkan duyung itu di Lembah Laut. Lembah Laut adalah sebuah penjara yang seburuk-buruknya tempat. Hewan-hewan buas bisa menjelma apa saja disana. Kata semua orang, tak pernah ada yang bisa kembali dengan selamat dari tempat yang terkutuk itu.

Ceritakanlah sekarang, kami mohon.

Semua pendengar mengarahkan tatapan harapan kepadaku, setelah kukatakan kepada mereka aku tak mau melanjutkan cerita. Salah satu dari mereka ada yang menangis, terutama yang perempuan.untuk sejenak, tidak ada yang berkata. Suasana hening. Seolah daun-daun pepohonanpun terdiam menunggu keputusan yang akan keluar dari bibirku.

Ceritakanlah kepada kami, apakah perempuan itu hidup atau mati. Juga lelaki yang dicintainya. Bukankah setiap cerita yang pedih sekalipun harus diceritakan, bukankah kau setuju dengan ini. Ayolah, kami menunggu nasib perempuan itu dari cerita yang keluar dari bibirmu. Kami mohon....

Setelah tiga bulan perempuan itu kembali.

Orang-orang yang kini berada di depanku itu tersenyum sementara sebelum kulanjutkan cerita, beberapa dari mereka meluapkan rasa senangnya dengan mengatakan lega kepada orang-orang di samping tempat duduknya.

Lalu?

Lalu semua penghuni laut sangat terkejut. Semua benak seolah dijejali dengan puluhan pertanyaan dan sebuah tanda tanya besar tentang bagaimana perempuan itu bisa lolos dari maut. Menurut cerita, perempuan itu kehilangan sebelah tangannya ketika melawan makhluk buas di Lembah Laut. Dan perempuan itu bersimpuh di depan Raja Laut. Perempuan itu sudah siap menghadapi takdir yang akan tergaris dalam hidupnya.

Raja Laut tidak menjatuhkan hukuman kepada perempuan yang saat itu sedang mengandung, tetapi Raja Laut menyuruhnya pulang menunggu bayi duyung itu terlahir, barulah perempuan itu akan diberi hukuman. Perempuan itu mengucapkan terimakasih sebelum meninggalkan tempatnya berdiri. Dan kabar kembali menjelma menjadi arah mata angin yang melesat dari busur cakrawala mengabarkan bahwa seorang bayi perempuan telah lahir. Dari sorot matanya, kecantikan bayi itu bakal tak ada yang bisa menandinnginya, bahkan sel;uruh penjuru samudra.

Duyung itu menepati janjinya untuk menghadap sang Raja Laut untuk menjalani hukuman. Duyung itu bersimpuh dengan bayi yang terbungkus kain tertidur didekapan dadanya. Raja Laut takjubmelihat bayi itu. Bawalah bayimu pulang, kata Raja Laut itu, lalu susuilah bayimu hingga ia tersapih dan kembalilah kau ke sini lagi.

Perempuan itu mngucapkan terimakasih dan pulang ke rumah. Ketika melihat wajah bayinya, ia melihat wajah kekasihnya yang kini entah berada dibelahan bumi mana. Tapi, sebagai seorang perempuan ia sudah mampu mempertahankan sebentuk cintanya yang badai ombak tak mampu menggoyahkan karang cintanya.

Hingga suatu waktu, perempuan itu datang kembali ke hadapan Raja Laut untuk meminta hukuman. Perempuan itu memberikan bayinya kepada seekor duyung yang telah menjadi sahabatnya semenjak kecil. Ia menitipkan bayinya dengan segenap harap dan air mata. Duyung itu mengangguk tanda mengerti. Dan hukuman musti dijalankan.

Pengawal menanam tubuh duyung itu hingga tampak leher dan kepalanya. Seluruh penghuni samudra harus melempar batu kearahnya. Batu-batu yang mengukir darah dikepalanya tidak dirasakan sebagai suatu hukuman yang pedih dan menyakitkan, tetapi adalah sebentuk cinta. Di dalam hatinya sudah dimaknai arti cinta yang sebenarnya. Cinta tidak hanya sebentuk rasa bahagia, tetapi juga segores luka lara. Hingga bebatuan terserak diatas sebuah kepala yang kini terkulai luka dan darah.

Sebuah isyarat bahwa hukuman sudah berakhir. Semua orang pergi seolah tak pernah ada yang terjadi. Duyung dengan bayi yang kini di dekapnya berlari ke arah kepala yang kini tak bernyawa. Perempuan itu menangis memeluk kepala yang bersimbah darah. Tangisanpun terpekik dari bayi yang secara naluriah merasakan apa yang disebut dengan kepedihan.

Tak pernah ada yang tahu kelanjutan cerita itu hingga kita sering melihat seorang perempuan berjalan dipinggir laut dengan rambutnya yang lepas dari sanggul dan ia berjalan dengan sepasang kaki telanjang yang ombak selalu menghapus jejak kaki itu, seolah alampun berduka dengan sebait cerita kehidupan dan menyembunyikan cerita itu di balik waktu yang berlalu. Dan jika ada yang bertanya tentang ayah perempuan itu, akan kukatakan sebagai penutup cerita, tak pernah ada yang tahu.


Tidak ada komentar: