24.5.08

Maafkan Aku Ibu

(Oleh: Nurul Kholifatur R.)

Kakiku terasa pegal banget, setelah berkeliling pasar sepulang sekolah. Aku pengen cepet-cepet nyampek rumah dan istirahat total, tapi sayang keinginan itu tak seeuai dengan kenyataan. Sampai di rumah ibu menyuruhku mengantarkan kue ke rumah Bu Rodliyah.

“Ibu nggak tahu apa kalau Ririn lagi capek, baru pulang kok udah disuruh ke rumah Bu Rodliyah, nggak mau ah,” tolakku.

“Rin, sebentar aja kok ya nak, kasihan Bu Rodliyah sudah lama menunggu kue pesanannya.” Dengan sedikit kesal aku ambil keranjang kue itu, itung-itung dari situlah aku bisa makan. Ayahku meninggal 17 tahun yang lalu.

“Assalamu’alaikum,” kataku ketika sampai di rumah Bu Rodliyah. Pintu dibuka dari dalam.

“Wa’alaikum Salam, neng cari siapa?tanya seorang pemuda di depanku.

”Anu mas, Bu Rodliyahnya ada?“ tanyaku sedikit salting.

”O pasti eneng Ririn ya, Ibu lagi pergi tapi Ibu udah titip pesa sama saya buat menerima kue yang dipesan Ibu di rumah Bu Mia yang biasa diantar anaknya,” kata Fauzi. Itulah namanya.

”Ini ya mas kuenya, saya pulang dulu udah sore,” pamitku. Fauzi hanya mengangguk.

Suatu pagi, Ibu menyuruhku kenyapu halaman tapi karena aku males, kutolah saja.

”Ibu nggak ngapa-ngapain kan, kerjain aja sendiri,” aku tak tahu apa yang terjadi. Mungkinkah ia tersinggung dengan kata-kataku. Beliau berlalu tanpa berucap kata.

”Rin, ibunya kok nggak dibantu nyanpu sendiri di halaman?” aku cuman geleng saja.

”Nggak baik lho Rin ngelamun, mendingan bantuin Ibu,” kata Fauzi padaku.

”Lagi males tahu, kalau mau bantuin Ibu udah sana pergi,”usirku.

”Ririn kok tega banget sama Ibunya,” keluh Fauzi.

Aku memang berubah, males bantuin Ibu, sukanya marah-marah terus dan Ibu diam saja. Mungkin Ibu kecewa padaku, selama ini kasih sayangnya pun berubah.

Suatu keli aku memberi kabar pada Ibuku bahwa aku diterima di UI Jakarta. Bukannya seneng, Ibu malah melarangku berangkat.

“Kamu nggak kasihan sama Ibu Rin, Ibu nggak punya siapa-siapa selain kamu. Nanti kalau Ibu sakit siapa yang ngurusin kalau bukan kamu,” katanya lembut.

”Bu, ini kesempatan Ririn buat maju, buat ngerubah hidup kita, lagian Ririn sekolah dengan beasiswa kan Bu, iya Bu ya, biarin Ririn pergi,” pintaku.

Ibu tak menjawab. Ia hanya menghapus butiran bening di matanya dan berlalu ninggalin aku gitu aja.

Aku tetap nekat berangkat, pengenku pamit sama Ibu, mencium punggung tangannya tapi Ibu menolaknya. Baru kali ini Ibu seperti ini. ”Sudahlah,” katanya menepis tanganku. Ingin kupeluk dia tapi dia menolaknya, kuputuskan pergi meski tanpa restunya.

Setelah di Jakarta aku sering mengirim surat pada Ibu, tapi Ibu tak pernah membalasnya. ”Ya Allah apa benar aku telah tergolong anak durhaka pada orang tua?” tanyaku setelah aku ingat akan semua perbuatan yang udah aku lakuin samaIbu. Kini aku menangis menyesal.

Liburan semester aku putuskan untuk pulang menengok Ibu, apapun yang aku terima nanti aku siap, demi memperoleh maafnya seorang wanita mulia dalam hidupku. Maafkan Ririn bu...... aku tercengang kaget ketika sampai rumah, ternyata Fauzi lah yang telah membantu Ibuku, membawakan keranjang-keranjang kue untuk diantar ke rumah para pemesan. Air mataku jatuh berlinang saat tahu betapa kesepiannya Ibu tanpaku, tapi kenapa aku selalu menyakitinya.....

”Biar Ririn aja bu yang bawa,” kataku tiba-tiba. Dua wajah itu meneloh padaku.

”He Rin, dua tahun di Jakarta kok nggak ada perubahan tetep sedehana dech,” kata Fauzi. Aku cuman tersenyum kutatap wajah Ibuku. ”Maafin Ririn ya bu, Ririn sadar Ririn udah terlalu banyak nyakitin hati Ibu, Ririn udah durhaka sama Ibu, mungkin Ibu benci sama Ririn tapi tolong bu, maafin Ririn.” Air mataku menganak bagai sungai. Ibupun demikian meski beliau tak berucap kata.

”Apa yang bisa ririn lakuin buat nebus salah Ririn Bu?” tanyaku sambil berlutut di depannya. Ibu memalingkan wajahnya, Ibu benar-benar sakit hati padaku.

”Jadi Ibu nggak mau maafin Ririn, percuma Ririn hidup Bu, Allah pun takkan meridhoi langkah Ririn karena engkau tak meridhoinya,”aku tertunduk penuh penyesalan.

”Kamu nggak minta maaf, Ibu sudah maafin kamu Rin,” Kata Ibu. Mataku berbinar bahagia, aku berdiri dan memeluknya. ”Makasih Ibu, Ririn janji bakal jagain Ibu.”

”Enggak nak. Kamu harus selesaikan kuliahmu.”

Fauzi tersenyum padaku. ”Rin, seorang Ibu adlaah mutiara dan taukah kamu kasih sayang Ibu tak pernah ada ujungnya.”

Aku bahagia, Ibu benar-benar wanita terbaik di dunia ini.

Tidak ada komentar: