TEMPO Interaktif, Jakarta:Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah yang banyak digunakan untuk berkomunikasi di negeri ini. Namun, kenyataan itu sepertinya tidak berlaku untuk dunia panggung. Faktanya, sangat sulit menemukan pertunjukan berbahasa Jawa yang baik, kecuali di dunia kesenian tradisional, seperti wayang atau ketoprak.
Hal tersebut bisa dibuktikan ketika Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah dan Taman Budaya Jawa Tengah menggelar Festival Sandiwara Bahasa Jawa, Kamis dan Jumat pekan lalu. Keenam kelompok penyaji yang mewakili eks karesidenan di Jawa Tengah adalah kelompok dadakan alias diada-adakan karena ada festival. Mereka bukan merupakan teaterawan yang menjadikan pementasan berbahasa Jawa sebagai "darah daging" mereka.
"Penyelenggara sepertinya hanya mengejar seremonial tanpa memperhitungkan pembinaan sebelumnya," kata Hanindawan, tokoh teater di Solo, yang ditunjuk menjadi salah satu anggota dewan juri. Pembinaan yang dimaksud Hanindawan adalah memberikan fasilitas bagi pertumbuhan teater atau kelompok sandiwara berbahasa Jawa.
Festival itu memperlihatkan, selain Teater Gapit Solo yang eksistensinya kembang kempis, di Jawa Tengah sebenarnya tak ada lagi kelompok yang intens dengan bahasa Jawa. Walhasil, enam lakon yang dimainkan enam kelompok itu pun tergagap-gagap dengan bahasa ibu mereka sendiri. "Mereka sering kagok dengan idiom Jawa," ujar Hanindawan.
Semua kelompok penyaji yang terdiri atas anak-anak sekolah menengah atas itu memilih menggunakan pendekatan teater modern. Secara keseluruhan bisa dibilang tidak bisa ditemukan seni pertunjukan tradisi yang menjadi roh dalam pertunjukan sandiwara mereka. "Menyaksikan sandiwara berbahasa Jawa tak ubahnya melihat teater pada umumnya, hanya berganti bahasa tuturnya," kata Ayub, salah seorang penonton, memberi komentar.
Penuturan Ayub bisa dibuktikan lewat pementasan wakil dari Kabupaten Pati dengan lakon berjudul Minyik karya Dwi Riyanto. Kelompok ini sepenuhnya menggunakan pendekatan teater modern, dari set panggung hingga blocking pemain. Dalam iringan musiknya pun tak terdengar sentuhan gamelan karena mereka menggunakan organ. Mereka juga terlihat sangat ketat dengan teks, sesuatu yang tidak biasa dalam teater Jawa, yang longgar terhadap teks. "Namun, irama mereka terjaga, ditopang dengan kemampuan akting pemainnya yang merata," kata Hanindawan.
Aktor Teater Gapit, Pelog Sutrisno, menilai kelompok-kelompok penyaji terkesan berupaya mendekatkan diri dengan kultur Jawa. Ini dilakukan misalnya dengan mengusung properti orang-orang desa ke atas panggung. Cara tersebut justru membuat penampilan mereka terasa kaku dan tidak wajar. Apalagi ketika si aktor terjebak dengan ungkapan keseharian yang terkadang mencampurkan bahasa Jawa dengan ungkapan verbal yang asal-usulnya tak jelas. "Banyak penampilan mereka yang justru terjebak oleh idiom yang ingin dikesankan sebagai kultur Jawa," kata Pelog.
Kelompok dari Pati itu akhirnya dinobatkan sebagai penyaji terbaik. Sementara itu, kelompok dari Kabupaten Magelang ditetapkan sebagai penyaji terbaik kedua yang membawakan lakon Klilip karya E. Yuliastuti. Sedangkan kelompok dari Semarang, yang tampil dengan lakon Salah Pangerten, menjadi juara ketiga. "Selain pendekatan yang kagok atau tanggung, keterbatasan naskah sandiwara berbahasa Jawa merupakan persoalan tersendiri," kata Hanindawan
Terlepas dari kualitas penyelenggaraan festival tersebut, kata Hanindawan, kegiatan tahunan ini memang perlu mendapat apresiasi, kalau memang tujuannya mengembangkan bahasa Jawa berkaitan dengan seni pertunjukan. Hanya, dinas pendidikan provinsi seyogianya menyemangati pertumbuhan teater berbahasa Jawa, tidak sekadar membuat festival. "Paling tidak, festival ini memberikan kesempatan bagi penggiat teater Jawa untuk berekspresi," kata Pelog.
Imron Rosyid
15.5.08
Gagap Bahasa di Panggung Teater
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar